ABSTRAKSI

 

Di dalam masa poligami itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

              Dengan munculnya poligami Nabi Muhammad, poligami yang telah berlaku sebelum masa beliau menghadapi d\ecentering (penghilangan pemusatan) dari poligami Nabi Muhammad. Proses d\ecentering tersebut terlihat pada beberapa hal, pertama, pembatasan jumlah, kedua, perintah berlaku adil dan ketiga, memiliki dimensi ilahi. Adapun alasannya adalah salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi dan sahabat pindah ke Madinah.

Kata kunci: Poligami 

 

BAB I

PENDAHULUAN

Pembunuhan karakter melalui isu seksual, adalah hal yang biasa dilakukan para orientalis. Para nabi sering digambarkan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Seperti halnya Nabi Muhammad dengan pembunuhan karakternya sebagai Nabi dan Rasul Allah. masalah istri-istri nabi[1] seringkali dijadikan bahan ejekan, dengan meninggalkan fakta-fakta dibalik pernikahan tersebut. Bahkan diantara para orientalis mengejek bahwa nabi adalah setan antikristus dan pegila seks. Sebut saja Marthin Luther dan de monde corce – salah seorang reformis agama kristiani dan pendiri aliran protetanisme yang menuduh dan melecehkan Nabi Muhammad dengan tuduhan keji dan dusta.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.       Poligami

     Poligami dalam bahasa arab adalah Ta’addu Az-Zawaj yang berarti perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang istri[2] dalam waktu yang sama.[3]Poligami bukan merupakan yang pertama diperkenalkan oleh Nabi Muhammad secara praktiknya, akan tetapi fir’aun juga melakukan poligami dengan memiliki 8 istri dan 150 selir.[4]

     Secara historiografis sangatlah menarik sebab mengangkat permasalahan ini secara seimbang. Pendekatan historiografis ini mengungkapkan adanya dua aspek di dalam poligami Nabi Muhammad yaitu, pertama aspek histori dan kedua faktor religius.[5]

     Faktor historis yang terdapat dalam poligami Nabi Muhammad ialah pertama, tindakan tersebut dilakukan di dalam satu ruang (sosio-kultural-relijgius) dan waktu, kedua, tindakan tersebut melibatkan keutuhan Pribadi Nabi Muhammad. Sementara faktor relegius yang terdapat di dalam poligami Nabi adalah suatu keyakinan dalam Nabi bahwa Allah akan menolong dirinya dikala menghadapi kesusahan

     Sejarah mencatat bahwa masa kenabian Nabi Muhammad diketahui dimulai saat beliau menerima wahyu pertamanya ketika berusia 40 tahun. Sebelum memulai masa kenabiannya, Nabi Muhammad bekerja bersama pamannya sebagai seorang pedagang. Ia menjadi orang kepercayaan Khadijah di dalam kegiatan perniagaan. Ia juga menjadi suami bagi Khadijah. Itu semua terjadi pada masa Nabi Muhammad berada pada periode Makkah.

Di kota Madinah, Nabi Muhammad tidak sekedar menjadi seorang Nabi dan suami Khadijah. Di tempat ini pula Nabi menjadi pimpinan bagi kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ia juga menjadi  kepala bagi komunitas agama-politik di Madinah.

     Dari Madinah, Nabi mengatur kepemimpinannya baik secara diplomatik ataupun militer. Ia menjadi administrator dan menjadi pemimpin militer. Ia tidak segan ikut bersama pasukannya didalam sejumlah perang.[6]

     Terkait dengan status dan posisi Nabi Muhammad, ada beberapa catatan penting yang terjadi di dalam kehidupan Nabi Muhammad yang berhubungan dengan aktifitas poligami Nabi Muhammad yaitu mengenai periode kesedihan yang ada dalam kehidupan Nabi sangat penting untuk dicermati. Adapun alasannya adalah salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi dan sahabat pindah ke Madinah.[7]

     Menurut catatan siti Musdah Mulia, masyarakat Arab jahiliyyah mengenal aneka bentuk perkawinan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, istri Nabi, bahwa pada masa Jahililyyah dikenal empat macam perkawinan, yaitu:[8]

  1. Perkawinan Istibdha’, adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki yang dipandang terhormat karena kebangsawanannya dengan maksud mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian, setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
  2. Perkawinan al-Maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan ibu tirinya. Sudah menjadi tradisi Arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang ayahnya, dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai anak tersebut dewasa.
  3. Perkawinan  Al-Rahthun, perkawinan Poliandri, yaitu perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuknya harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anaknya.
  4. Perkawinan Khadan, perkawinan antara laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Saat itu, masyarakat Arab menganggap hal yang demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.

     Selain keempat bentuk perkawinan diatas, Musdah juga mencatat adanyan dua bentuk perkawinan lainnya, yaitu:[9]

a)      Perkawinan badal, yaitu perkawinan yang didalamnya dua orang suami saling bersepakat tukar menukar istri tanpa melaui talak.

b)      Perkawinan Shighar, yaitu perkawinan seorang laki-laki  dengan anak perempuannya atau saudara perempuan dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar tetapi imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya ( tukar-menukar anak  atau saudara perempuan)

Penulisan praktik pernikahan pra-Islam ini dikarenakan poligami nabi mengambil latar belakang masyarakat arab Jahiliyah. Masyarakat arab Jahiliyyah memliki sejumlah kebudayaan dominan, misalnya budaya pathriarki, dan kedua, budaya konfederasi suku-suku.

Semua bentuk praktik pernikahan pra-Islam tersebut sangat terkait dengan situasi antropologis historis masyarakat saat itu.[10] Artinya, hal tersebut ada dan terjadi di tengah nilai-nilai yang berlaku saat itu.

Di dalam masa poligami itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

Dengan munculnya poligami Nabi Muhammad, poligami yang telah berlaku sebelum masa beliau menghadapi d\ecentering (penghilangan pemusatan) dari poligami Nabi Muhammad.[11] Proses d\ecentering tersebut terlihat pada beberapa hal, pertama, pembatasan jumlah, kedua, perintah berlaku adil dan ketiga, memiliki dimensi ilahi.

Untuk menjelaskan perbedaan antara kedua bentuk Poligami pra-Islam dengan poligami Nabi Muhammad, berikut penulis membuat suatu bagan sebagai berikut:[12]

Poligami Pra Islam

Poligami Nabi Muhammad

  1. Tidak ada pembatasan jumlah
  2. Prestise sosial
  3. Kegiatan cultural
  4. Kelebihan material yang dimiliki pria
  5. Pembatasan Jumlah
  6. Nilai keadilan sebagai syarat
  7. Mempunyai dimensi Ilahi

Selain sebagai decentering atas maskulinisme di dalam poligami pra-Islam, terlihat jelas bahwa poligami Nabi Muhammad merupakan suatu gugatan atas budaya kawin-kawin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu. Gugatan dilakukan tidak sekedar lewat tindakan nyata tetapi juga dengan memberikan suatu norma baru.[13]

Praktek poligami Nabi Muhammad sering dijadikan titik tolak pembahasan aktifitas poligami di komunitas Islam. Misalnya, Al-Ghazali menyatakan bahwa al-Quran menginginkan suatu solusi gradual atas praktek poligami yang berlaku saat itu. Ashgrar Ali Engginer menyatakan di dalam Islam prinsip monogamy bersandarkan kepada “ wahyu Poligami” yang terdapat pada al-Quran. Kedua tokoh itu melihat bahwa Islam berusaha menghilangkan praktek poligami menjadi monogamy secara bertahap.

Terkait dengan hal itu, ada beberapa fakta historis yang terdapat di dalam rumah tangga Nabi Muhammad sebagaimana yang dipaparkan oleh Musda Mulia, yaitu:[14]

  1. Perkawinan Nabi Muhammad yang monogamy dan penuh kebahagiaan berlangsung selama 28 tahun; 17 tahun dijalani di masa sebelum kerasulan dan sebelas tahun sesudah masa kerasulan.
  2. Setelah Khadijah wafat, baru dua tahun kemudian Nabi menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah.
  3. Nabi menikah dengan Saudah di kala usia Saudah sudah agak lanjut, bahkan sebagian riwayat menyatakan ia sudah menapouse.
  4. Usia Nabi pada saat melakukan poligami usianya di atas 54 tahun.
  5. Perkawinan Nabi yang ketiga sampai yang terakhir berlangsung di Madinah dan berada dalam rentang waktu yang relative pendek (antara tahun kedua sampai ketujuh hijriyah), hanya 5 tahun.

Jelaslah kiranya bahwa faktor poligami bukan semata-mata untuk memuaskan hasrat. Akan tetapi lebih kepada dakwah Islam. Penulis berpandangan bahwa poligami boleh saja dilakukan bila memenuhi kriteria layaknya Nabi, yaitu menikahi anak perempuan dibawah umur ( kurang dari 9 tahun ) menurut undang-undang pernikahan Indonesia yang jelas tidak diperbolehkan dan wanita yang sudah menapouse atau lanjut usia.

Meskipun Nabi melakukan poligami, tetapi beliau tidak mengizinkan menantunya berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil yang harus dilakukan dalam berpoligami, yang tidak semua orang bisa melakukannya, termasuk Ali bin Abi Thalib, padahal ia telah teruji keimanannya dan keshalihannya. Namun sebagai manusia biasa ia tidak sanggup keadilan sebagaimana yang dilakukan Nabi dan perihal Firman Allah dalam Surat An-Nisa;129 yang menitikberatkan pada keadilan yang sebenar-benarnya.

 Hal lain yang perlu dilihat di dalam poligami Nabi Muhammad adalah  jumlah istri. Banyak penulis kontemporer yang berusaha membidik masalah ini. Untuk mempermudah melihat nama-nama istri Nabi Muhammad dan waktu pernikahan:[15]

No

Nama

Keluarga

(Patriarkhi)

Tempat

Tahun

Keterangan

1.

Khadijah

Khuwailid

Mekkah

Dinikahi berstatus janda; seorang saudagar

2.

Saudah

Zum’ah

Mekkah

Dinikahi berstatus janda pada bulan Ramadhan di tahun kesepuluh kenabian

3.

‘Aisyah

Abu bakar

Madinah

4.

Hafshah

Umar bin Khatab

Madinah

3 H (2 bln pra perang uhud

5.

Ummu Salamah

Putri Abu Umayyah bin Mughirah

Madinah

Akhir bulan Syawal 4 H

Juwairiyah

Harits bin Abi Dirar dari bani Mustaliq

Madinah

Akhir bulan Syawal 4 H

Zainab

Zaid bin Haritsah (suami)

Madinah

Bulan dzulqa’da 5 H

Dinikahi berstatus janda

Zainab binti Khuzaimah

Tufail bin Harits bin Muthalib

Madinah

Dinikahi berstatus janda

Rayhanah

Hakam dari Bani Nadir (suami)

Madinah

5 H

Dinikahi berstatus janda (suami wafat); tawanan perang ;wafat sewaktu Nabi masih hidup

Ummu Habibah

Putri Abu Sufyan bin Harb

Madinah

Wafat sebagai Kristen setelah sebelumnya muslim sewaktu menikah

Safiyah

Huyay bin Khatab

Madinah

7 H

Dinikahi berstatus janda ( cerai)

Maimunah binti Harits Hilaliyah

Abu Ruhm bin Abdul Uzza Amiri

Madinah

7 H

Dinikahi berstatus janda (mati)

Fathimah binti Dakhlah bin Kilabiyah

Madinah

Bulan dzulqa’dah 8 H

Dinikahi berstatus janda (cerai)

Asma’ binti Nu’man

Madinah

Rabi al-Awal 9 H

  1. B.       Hikmah Poligami Rasu>Lullah
  2. Semakin banyak orang yang tahu akan kondisi batin Rasu>lullah sehingga tuduhan orang-orang mushrik yang menyebut Nabi itu tukang sihir lenyap.
  3. Memulyakan kabilah-kabilah Arab dengan menjadikannya sebagai saudara karena hubungan perkawinan.
  4. Agar kabilah-kabilah Arab semakin cinta dan senang dengan dakwah Nabi.
  5. Dengan semakin banyak istri maka semakin banyak pula yang memberi dukungan memerangi musuh-musuhnya.
  6. Memberikan pelajaran bagi segenap laki-laki sebuah landasan hukum syariat bahwa tujuan poligami adalah karena alasan sosial, bukan karena alasan syahwat.
  7. Meletakkan bangunan persepsi bahwa poligami sebagai wahana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap problematika kemasyarakatan yang berkaitan dengan kemiskinan dan perlindungan.[16]
  8. Memberikan pengetahuan bahwa Islam sangat memperhatikan aspek bangunan terkecil dari miniatur sosial masyarakat yaitu keluarga sebagai partikel kecil sosial yang harus dijaga kelestariannya karena ia adalah prototipe masyarakat dalam arti yang luas.[17]

 


[1] Irena Handono dkk, Islam dihujat; Menjawab buku The Islamic Invansion, (Kudus; Bima Rodheta, 2004), 303.

[2] Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami,terj.Ahmad Sahal Mahfudz, ( Jakarta: Global Cipta Publishing, 2003) 25.

[3] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT SUN, 2004), 43.

[4] Irena. Islam dihujat–14

[6] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..45.

[7]Muhammad Jamaluddin, Huqu<q Zaujayni wa Ada<b al-Liqa<’ Bainahuma > (Kairo: Maktabah al-Nu<r al-Muhammadi<, tt), 7

[8] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..50

[9] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..55

[10] Haliem A.E, Roman Pernikahan Para Nabi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 57.

[11] Ibid, 61.

[12] Ahmad bin ‘Abd al-‘Azi<z, Ummaha<tul Mukmini<n Zauja<t Rasu<lullah  (Kairo: Maktabah al-ima<n, 2005), 20.

[13] Muhammad Jamaluddin, Huqu<q Zaujayni wa Ada<b al-Liqa<’ Bainahuma >. 10.

[14] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.60

[15] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami..65

[16]  Ali Ahmad Shahat, al-Usrah Fĩ al-Isla>m, (Kairo: Haiah Mishriyyah Li al-Kita>b, 2007), 80.

[17] Badrawî Zahrãn, al-Usrah Wa al-Mujtama’ Fĩ al-Isla>m, (Kairo: Maktabah Nahdhah al-‘Arabiyyah, 2001), 3.