Latest Entries »

ABSTRAKSI

 

Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut. Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis.

 Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.
Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi.

 

Kata Kunci: Perkembangan, Hadits Nabi

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

Al-Hadis merupakan referensi kedua yang menjadi rujukan dalam segala amal-amal yang dilakukan oleh kaum muslimin setelah al-Qur’an. al-hadith juga bisa dijadikan sebuah penjelas dan nalar dari kitab al-Qur’an. al-hadith diibaratkan sebuah tonggak penggerak dari pondasi yang bernama al-Qur’an, al-Qur’an berjalan beriringan dengan al-hadith dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain.[1] Oleh karena itu, Nabi sebagai penyampai yang alamien mempunyai sebuah amanat yang berat untuk dipikul.

Dalam hal penyampaian dari maha guru yang bernama Muhammad SAW, Nabi yang akan memberikan pertolongan dan syafa>’at pada hari akhir kelak – sangat selektif dan terencana dengan tidak memberatkan para murid atau Sahabat dalam memperoleh hadith dari beliau. Nabi memberikan dedikasi yang sangat tinggi kepada manusia bahwa Nabi tidaklah meninggalkan mobil, rumah ataupun barang-barang yang berharga lainya, melainkan beliau meninggalkan sebuah petunjuk pada kehidupan yang lebih bermakna yaitu al-Qur’an dan al-hadith.

Karya ilmiah ini fokus kajiannya berada pada lingkup cara Nabi menyampaikan hadith kepada Sahabat; kemudian dijelaskan latar belakang perbedaan ha>dits yang diterima Sahabat. Dalam penulisan karya ilmiah, penulis sadar bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan saran yang membangun demi terciptanya kebenaran yang seutuhnya.

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A. Cara Rasul Menyampaikan Hadith Kepada Sahabat

Syeikh Muhammad at-Thahhan menjelaskan, dalam mengajar hadith, Nabi menggunakan tiga metode, yaitu lisan, tulisan dan peragaan praktis.[2]

  1. Metode Ucapan (Lisan)

Sebagai seorang guru seluruh umat manusia, tentu Nabi berupaya keras agar ajaran yang beliau sampaikan dapat dipahami, dihayati dan diamalkan. Dengan demikian, ajaran yang telah disampaikan itu tetap otentik dan tidak mudah terlupakan. Oleh karena itu, Nabi biasa mengulangi hal-hal penting sampai tiga kali. Setelah beliau yakin pelajaran yang disampaikan mampu dipahami dan dihafal oleh para Sahabat, maka beliau berkenan untuk memerintah para Sahabat untuk menirukan ucapannya, sekaligus mendengarkan dan mengoreksinya. DR.Safar ‘Azimillah menjelaskan dalam bukunya bahwa pada waktu itu para Sahabat tidak mendengar dengan keseluruhan hadith yang disampaikan Nabi dalam satu pertemuan dikarenakan masing-masing dari mereka mempunyai kesibukan dan kegiatan yang tidak bisa ditinggalkan.[3] Para Sahabat yang datang dari daerah-daerah terpencil, menjadi tanggung jawab penduduk Madinah, tidak hanya soal akomodasi dan konsumsi, tapi juga pendidikan mereka dalam ilmu al-Qur’an dan al-sunah. Nabi biasa melemparkan pertanyaan untuk mengetahui, sejauh mana pengetahuan mereka. Hal ini dilakukan oleh Nabi dalam rangka memudahkan para Sahabat belajar dan memperoleh hadith.

Fakta tersebut menunjukkan bahwa pengajaran al-Qur’an dan H>>>>>adith dilakukan Nabi dalam dua level besar. Pertama, Nabi mengajar Sahabat yang dekat dan sering bertemu Nabi. Kedua, para Sahabat dan penduduk Madinah mengajarkan ilmu yang telah mereka peroleh dari Nabi kepada Sahabat yang tidak sering bertemu Nabi. Kemudian dalam kesempatan lain Nabi berusaha mengevaluasi dan menilai kemampuan ilmu mereka yang diperoleh dari sabahat yang sering bertemu beliau. Kegiatan ilmiah ini berjalan terus menerus sampai beliau wafat pada 11 H / 632 M.

  1. Metode Tulisan

Gerak diplomasi Rasul untuk mengirim delegasi khusus untuk menyampaikan surat kepada raja dan penguasa dikawasan Timur Tengah pada waktu itu, dan surat beliau kepada para kepala suku dan gubernur muslim dapat dikategorikan sebagai metode penyebaran hadith melalui media tulis. Beberapa surat tersebut sangat panjang dan mengandung berbagai masalah hukum, seperti zakat, jizyah, dan cara-cara ibadah lainya.

Menurut data yang saya ketahui, untuk melakukan kegiatan “diplomasi dan managemen pemerintahan” tersebut, Nabi mengangkat 42 juru tulis yang siap bekerja pada saat diperlukan. Masuk dalam kategori ini yaitu kegiatan imla’ Nabi, para Sahabat seperti Ali> bin Abi> Tha>lib dan Abdullah bin ‘Amr bin al-Ash.[4] Rasul juga  pernah memerintah agar transkrip khutbahnya dikirim kepada seorang warga Yaman bernama abu Syadi.

Dari data-data tersebut dapat ditegaskan bahwa penyebaran hadith melalui media tulisan dilakukan oleh Rasul secara terencana dan terarah. Oleh karena itu, saya memahami larangan  Rasul untuk menulis hadith seperti laporan Abu Said al-Khudri, yang menyatakan Rasul bersabda : “janganlah anda menulis (sesuatu)  dari saya. Barang siapa yang telah terlanjur menulis, maka hapuslah. Ceritakanlah (segala sesuatu) dari saya; demikian tidak apa-apa”, sebagai larangan penulisan ha>dits yang tidak professional, sebab saat itu dikhawatirkan akan bercampur dengan al-Qur’an.[5]

Ada beberapa keuntungan dari metode ini, yaitu:

  1. Lebih terjaga dan terpeliharanya hadith – hadith Rasulullah S.A.W baik dengan hafalan maupun tulisan. Hadith menjadi terpelihara dari kemusnahan dan pemalsuan. Pada saat itu mulai banyak penghafal hadith yang wafat, umat Islam terpecah belah dalam sekte dan golongan, banyak para pemalsu hadith, sehingga untuk menjaga kemurnian dan keutuhan hadith maka perlulah dibukukan.
  2. Hadith – hadith yang tersebar dalam hafalan para ra>wi dan dalam lembaran-lembaran menjadi terkumpul dan tersusun dalam buku-buku, sehingga semakin memudahkan dalam menjaga dan mempelajarinya, baik mempelajari matan, sanad, dan hal – hal lain yang berkaitan dengan hadith.
  3. Mendorong dan memotifasi lahirnya karya – karya dalam bidang hadith. Dari sini banyak ulama yang menulis buku – buku dalam bidang hadith, baik berbentuk buku-buku matan, sharah, tah}qi>q, takhri>j, ta>rikh, dan lain-lain yang membawa manfaat cukup besar bagi umat.
  4. Metode Peragaan praktis

Sepanjang hidup Rasul SAW, terhitung sejak belaiu menerima wahyu; segala perilaku, ucapan, persetujuan dan peragaan praktisnya dianggap sebagai Ha>dits. Rasul memperagakan cara wudhu, shalat, haji, dan lain-lain.

Dalam setiap segi kehidupan, Rasul memberi pelajaran praktis disertai perintah yang jelas untuk mengikutinya. Misalnya beliau bersabda: “Shalatlah anda seperti saya mempraktekkan shalat”  dan juga beliau bersabda: “Ambillah cara-cara haji anda (manasik) dari cara aku melaksanakan haji”

Dalam menjawab pertanyaan, disamping Rasul menjawab langsung secara lisan (sunnah qawliyah), beliau selau minta kepada si penanya untuk tinggal bersama beliau dan belajar memalui pengamatan terhadap perilaku dan praktik ibadah beliau sehari.

Tataran kenyataan ini dalam metodologi penelitian modern masuk dalam kategori pendekatan campuran antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Suatu model penelitian yang jika dilakukan secara sungguh-sungguh validitasnya sangat meyakinkah dan komprehensif.

B. Strategi Rasul untuk menyebarkan Hadith

  1. Mendirikan Sekolah

Sekolah dalam arti tradisional didirikan begitu Rasul tiba di Madinah. Dengan fokus kebijakan pada pengiriman guru dan khatib ke berbagai wilayah di luar madinah, misalnya ke Adzal Qara pada tahun ke-3 H dan Bir Ma’unah pada tahun ke-4 H, ke Najran, Yaman dan Hadramaut pada tahun ke-9 H.

  1. Penyebaran Informasi

Perhatikan sabda Rasul: “Sampaikan ilmu dariku walaupun satu ayat” .[6] fokus kebijakan senada dapat ditemukan pada khutbah Rasul pada haji wada’: “Hendaknya yang hadir menyampaikan amanat ini kepada yang tidak hadir”.[7] Ini menjadi bukti bahwa tradisi penyebaran informasi tentang perbuatan dan ucapan Nabi merupakan praktek umum sejak awal Islam.

Delegasi yang datang ke Madinah diperintah mengajarkan anggota masyarakatnya, seperti yang terjadi pada diri Malik bin Huwayrith, yang diperintahkan untuk mengemban tugas tersebut oleh Rasul. Ia konsisten melaksanakan tugas ini bahkan selama lama Rasul wafat.[8]

  1. Memberi Motivasi bagi pengajar dan Penuntut Ilmu

Rasul tak hanya memerintahkan untuk mendidik masyarakat, tapi juga disertai penyebutan pahala yang berlipat ganda bagi para pengajar dan penuntut ilmu. Kebijakan ini juga diperkuat dengan ancaman bagi orang yang enggan menyebarkan ilmu.

Perhatikan lima h}adits Nabi ini: Pertama, Belajar dan menuntut ilmu adalah wajib bagi tiap muslim” Kedua, “ orang yang menyembunyikan ilmu dapat dimasukkan ke neraka”. Ketiga, “ Barang siapa menempuh jalan menuju pencapaian ilmu, maka Allah akan memasukkan ke dalam surga, dan para malaikat mengembangkan sayapya, karena senang kepada para penuntut ilmu, serta seluruh penghuni surge dan bumi, bahkan ikan di kedalaman lautan memohonkan ampun untuknya”[9]. Keempat,Nabi bersabda:” Jika anak cucu Adam meninggal, amalnya terputus, kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak saleh untuknya”.[10] Kelima, Nabi bersabda: “ Mereka menolak terlibat dalam proses pendidikan akan mendapatkan hukuman yang akan menimpa mereka”.[11]

Dengan begitu para Sahabat pasca Rasul wafat mengambil peran penyebaran hadith-hadith yang tersebar dan pengetahuan para Sahabat. Hal ini seperti yang dilakukan oleh abu> Hurayrah, Umar, abu Mu>sa al-Asy’a>ri, Ibnu Abbas, Zayd bin Arqa>m, Ibn Buraydah, Ali> bin Abi> Thalib, Ibnu Mas’u>d, dan Abu Said al-Khudri sangat berjasa dalam memotivasi tabiin untuk menghafal al-Sunnah.[12]kedua, dukungan khalifah Umar bin Khattab, menginstruksikan para gubernurnya untuk mengajarkan al-Qur’an dan sunnah Nabi.[13]Beliau sering mengirim sekian guru ke daerah-daerah untuk mengajar al-Qur’an dan sunnah Nabi.[14]

Ketiga, jasa tokoh khalifah. Hampir seluruh Sahabat yang memiliki pengetahuan tentang hadith Nabi, ikut berjasa dan berperan dalam menyebarkannya, kapan dan dimanapun mereka berasal. Asal kesempatan memungkinkan dan perlu, pasti mereka menyampaikan pengetahuan hadithnya tersebut. Baik mereka yang termotivasi ancaman menyembunyikan ilmu, maupun mereka yang bekerja professional di bidang pengajaran hadith.

25-35 tahun pasca Rasul wafat, Islam menyebar ke Afganistan, Iran, India, Irak, Syiria, Azerbijan, Mesir, Sudan, Ethiopia dan Libiya. Tentu, penyebaran Islam ini tidak lepas dari jasa besar para Sahabat Nabi. Akibatnya, h}adits Nabi pun menyebar seiring dengan menyebarnya Sahabat ke seluruh penjuru dunia Islam. Dengan demikian, para Sahabat yang menetap di Madinah setelah tahun 35 H tinggal sedikit. Ada kemungkinan, ada suatu sunnah yang hanya diketahui oleh Sahabat tertentu, yang akhirnya mereka juga berangkat ke Irak, mesir, Syiria, Iran dan tempat-tempat lain.

Pada umumnya, sebelum para Sahabat itu wafat, mereka menyiapkan para kader “penjaga” h}adits sebagai generasi yang harus menerima amanat memikul tanggung jawab mencatat, menghafal dan menyebarkan sekaligus generasi tabiin inilah yang mengajarkan hadith. Proses ini terjadi secara alami dan terencana menetapkan syarat-syarat belajar hadith, demi menjaga kesucian sunnah Rasul itu dari pemalsuan, dan kontaminasi pemikiran yang sebetulnya tidak otentik berasal dari Rasul SAW.

C. Strategi Sahabat untuk menyebarkan Hadith

Pada masa Sahabat penyebarluasan hadith sangat cepat, ini tampak pada masa Utsman bin Affan, mereka memberikan kemudahan dan kelonggaran kepada para Sahabat untuk menyebarluaskan periwayatan hadith kemana pun mereka mempunyai keinginan. Sesuai dengan keadaan tersebut, dan sangat pentingnya anjuran mengajarkan ilmu kepada kaum muslimin yang baru masuk Islam, para Sahabat termotivasi untuk mengemban amanah tersebut.

Diantara kota-kota yang dkunjungi Sahabat antara lain, yaitu:

  1. Madinah

Di kota ini banyak terdapat Sahabat yang mempunyai keahlian dibidang keagamaan, misalkan Abdullah bin Tsabit.

  1. Makkah

Tidak kalah hebatnya dengan kota Madinah, kota Makkah mempunyai kemajuan sama halnya dengan Madinah. Disana dtunjuk Muadz bin Jabal yang ditunjuk sebagai guru untuk mengajrkan penduduk setempat tentang halal dan haram.

  1. Kufah dan Basrah

Setelah Irak ditaklukkan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, para Sahabat seperti Ali bin Abi Thalib dan Sa’ad bin Yazid, Anas bin Malik, Abu Musa al-Asy’ari dan Abdullah Ibn Abbas juga termotivasi untuk menyebarkan hadith Nabi.

Strategi yang digunakan oleh para Sahabat dalam menyampaikan ha>dits Nabi bukan hanya dari mulut ke mulut, yaitu mendengarkan Hadith dari guru, tetapi munculnya gerakan penulisan hadith sehingga mempermudah para praktisi Hadith dalam menyampaikan maupun mendapatkannya. Tradisi ini dilanjutkan oleh para Sahabat dengan mencari Hadith sampai ke tempat yang jauh guna meneliti validitas dari ha>dits yang diperolehnya.

  1. 1.    Gerakan Penulisan Hadith

Dengan motivasi mengemban amanah Nabi, yaitu menyampaikan seluruh ajarannya. Jauh setelah wafat Nabi saw timbul gerakan menulis hadith didorong oleh semangat dan kemauan pribadi, seperti Sa’id bin Jubair (w.95 h) rajin membuat catatan hadith-hadith yang berasal dari Abdullah Ibnu Abbas, Ibnu Syihab membuat notula hadith dari Abd Rahman bin Dzamekhwan. Jauh sebelum mereka, Sahabat  Zubair bin ‘Awwan diketahui menyimpan naskah catatan hadith Nabawi yang ikut musnah saat membumi hanguskan rumah-rumah di kota Makkah bertepatan perlawanan pada Yazid bin Mu’awiyah[15].

Peran aktif pihak pemerintahan dalam merintis pencatatan hadith yang dipelopori oleh Khalifah Umar Ibnu Khatab yang bermula memusyawarahkan rencana itu dengan Sahabat dan berakhir dengan menarik gagasan untuk segera membukukan hadith. Pemerintahan lainnya, seperti Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 h) mulai bertindak sebagai sponsor pencatatan  dan pembukuan hadith dengan menugaskan Abu Bakr Ibnu Hazm selaku koordinator pelaksana. Pesan tertulis khalifah mengamanatkan agar koleksi hafalan hadith yang dimiliki oleh ‘Amrah binti Abdul Rahman Al-Anshari dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar diprioritaskan.[16]

Himbauan Umar bin Abdul Aziz yang diamanatkan ke seluruh pelosok negeri Islam baru terpenuhi antara lain oleh Muhammad bin Abdul Aziz mencerminkan konsensus umat mengenai pentingnya upaya kembali mencatat dalam mengkodifikasikan hadith. Demikian analisis pengamatan Al-Hafisz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana yang dikutip oleh Hasjim Abbas.

Hipotesa kerja yang melandasi program pencatatan dan pembukuan hadith, sebagai berikut:

  1. Wilayah territorial Islam dan keadaan umat Islam semakin luas telah mengundang tanggung jawab meneruskan informasi ajaran Nabi ke segenap penjuru dunia.
  2. Sahabat Nabi berangsur-angsur meninggal, ulama generasi berikutnya telah menyebar ke berbagai wilayah dan pengikut mereka bertebaran. Kondisi kecermatan hafalan mereka tidak setangguh generasi Sahabat, sebab mereka berasal dari bermacam-macam suku bangsa.
  3. Umat Islam telah dilanda penyebaran ajaran bid’ah, gerakan penentang ajaran, fanatik politik dan ambisi kedudukan telah menimbulkan perilaku buruk terhadap hadith ( muncul hadith palsu / mawd}u’ dalam skala besar).

Gelombang penulisan dan pembukuan hadith periode berikutnya dilakukan atas prakarsa individu ulama muhaddithin, antara lain: Ibnu al-Auza’I, Sufyan al-Thauri, Imam Malik, Muhammad Ibnu Ishaq, Abdullah bin Mubarak dan laits bin Sa’ad. Memperhatikan kecenderungan umum ulama hadith dalam menghimpun koleksi hadith, mempunyai beberapa tujuan, yaitu:

  1. Memudahkan usaha menghafal hadith dan menyimpulkan hukum. Tujuan tersebut tampak pada penyusunan kitab koleksi hadith dengan sistematika musnad, yakni urutan letak hadith atas dasar nama Sahabat yang meriwayatkannya.
  2. Memperkenalkan pokok ajaran Islam yang menjadi topik bahasan suatu hadith. Tujuan tersebut melatarbelakangi koleksi hadith dalam bentuk kitab sunan. Hal tersebut terbukti dengan tata letak hadith mencontoh tata bab-bab dalam kitab fiqih dan setiap unit hadith selalau dilengkapi dengan judul bertumpu pada aspek kandungan pokok ajaran hadith yang bersangkutan.
  3. Menyajikan ulasan terhadap kosa kata yang terdapat dalam struktur bahasa matan. Sejalan dengan tujuan tersebut, maka yang dipentingkan hanyalah penyajian matan hadith untuk obyek kupasan atas kata-kata gharib ( asing dalam pemakaian komunikasi sehari-hari) dan kupasan atas susunan kalimatnya.

D. Latar Belakang Perbedaan Jumlah Hadith Yang Diterima Sahabat

Sahabat dalam arti etimologi adalah Sahabat (musyta>q) pecahan dari kata shubhah yang berarti orang yang menemani.[17] Secara arti terminologi Muhammad Mahmud Abu Zahwu menjelaskan dalam al-hadith wa al-muhadithun nya, menjelaskan bahwa Sahabat adalah orang yang bertemu Nabi, beriman kepada ajaran Nabi, dan meninggal dalam keadaan Islam.[18] Ada juga pendapat lain mengatakan bisa dinamakan Sahabat jika dia berguru langsung kepada Nabi ataupun mendapatkan pelajaran dari Sahabat yang mendengarnya.

Ahmad bin hambal mengatakan bahwa Sahabat Rasul adalah orang yang pernah hidup bersama beliau, sesaat atau sehari bertemu beliau.[19]Imam Bukhari mangatakan bahwa yang dinamakan Sahabat apabila dia hidup bersama Nabi dan meninggal dalam keadaan Islam. Mayoritas ulama mengatakan bahwa Sahabat adalah seseorang yang tetap dalam keadaan beriman dan pernah hidup bersama Nabi.[20]

Dari data tersebut dapat ditarik benang merah, jadi yang dinamakan Sahabat adalah pertama, ia pernah bertemu dengan Rasulullah, kedua, dalam keadaan beriman dan Islam sampai meninggal dunia.[21] Dengan demikian, mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah atau pernah bertemu dengan Nabi tetapi tidak dalam keadaan Islam dan beriman, maka ia tidak disebut dengan Sahabat.

Beberapa para Sahabat yang mempunyai urgensi dan dianggap banyak meriwayatkan hadith, yaitu:

  1. Abu Hurairah

Dia bernama Abdu Rahman bin Shahr biasanya dikenal dengan Abu Hurairah. Dia adalah Sahabat yang paling banyak meriwatkan ha>dits dan Sahabat yang paling kuat hafalannya. Sebagaimana Nabi pernah meng amini doa yang yang diminta langsung oleh Abu Hurairah agar dia dijauhkan dari sifat lupa terhadap ilmu-ilmu yang telah didapatnya dari Nabi. Bahkan ibn Umar menyaksikan pada saat Abu Hurairah wafat bahwasanya Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal Hadith Nabi.  Hadith yang diriyatkan oleh Abu Hurairah ada 5374.[22]

  1. Ibnu Umar,

Periwayatan paling banyak berikutnya adalah Abdullah bin Umar, ia meriwayatkan 2.630 hadith. Abdullah adalah putra khalifah kedua yaitu Umar bin Khatab dan saudara kandung Sayyidah Hafshah ummul mukminin. Ia adalah salah seorang diantara orang-orang yang bernama Abdullah  (Al-Abdillah al-Arba’ah) yang terkenal dengan pemberi fatwa. Ibnu Umar dilahirkan tidak lama sesudah Nabi diutus dan meninggal pada tahun 73 H. Dia termasuk sahabat yang banyak mengikuti perang seperti perang Uhud, Qadisiyah, Yamuk, Penaklukkan Afrika, Mesir dan Persia serta penyerbuah Basrah. Ia meriwayatkan Hadith dari Abu Bakar, Uthman, Sayyidah ‘Aisyah, Hafshah dan Abdullah bin Mas’ud. Yang meriwayatkan dari Ibnu Umar diantaranya Said bin al-Musayyab, al-Hasan Basri, Ibnu Syihab az-Zuhri, Ibnu Sirrin, Nafi’ dan lainnya.

  1. Anas bin Malik, 2.263 hadith.

Anas bin Malik adalah urutan ketiga dari Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadith. Anas adalah Khadam (pelayan) Rasulullah yang terpercaya. Ketika ia berusia sepuluh tahun, ibunya yaitu Ummu Salaiman, membawanya kepada Rasulullah untuk berkhidmat. Anas wafat pada tahun 93 H.

  1. ‘Aisyah binti Abu Bakar

Dia bernama ‘Aisyah binti Abu Bakar as-Shiddiq yaitu salah satu isteri Nabi. ‘Aisyah menikah ketika berumur 9 tahun di bulan syawal 1 Hijiriyah. Dia adalah salah satu orang yang mempunyai peran penting dalam Hadith, Hadith yang diriwayatkan sejumlah 2210. Hal ini memungkinkan, karena ‘Aisyah adalah orang yang cerdas, tidak mempunyai anak sehingga tidak disibukkan dengan mengasuh dan merawat dan dia wafat kurang lebih 48 tahun setelah hijrah.[23]

  1. Abdullah bin Abbas, 1.660 hadith

Abdullah adalah sahabat kelima yang banyak meriwayatkan Hadith sesudah sayyidah ‘Aisyah. Dia adalah putra paman Rasulullah yaitu Al-abbas bin Abdul Muthalib dan ibunya yang bernama Ummul Fadl Lubabah binti al-Harits – saudara dari Ummul Mukminin Maimunah. Abdullah lahir tiga tahun sebelum hijrah. Dia satu-satunya sahabat yang mendapatkan doa Rasulullah agar menjadi pakar takwil (tafsir). Selain itu Abdullah adalah seorang pakar fiqh yang terkenal. Ia wafat pada tahun 68 H karena penyakit mata.

  1. Ja>bir bin ‘Abddullah

Dia bernama Jabir bin Abdullah bin ’Amr bin Harm al-Ansh>ari. Jabir adalah Sahabat yang tekun dalam memperoleh Hadith dari Nabi dengan kekuatan hafalan dan tulisannya. Hal ini dibuktikan dari jumlah Hadith yang diriwayatkanya yaitu 1540 Hadith.[24]

  1. Abu Sa’id al-Khudri, 1.170 hadith

Abu Sa’id al-Khudri adalah orang ketujuh yang banyak meriwayatkan Hadith, ia meriwayatkan 1.170 Hadith. Abu sa’id lebih dikenal dengan kuniah nya Abu Sa’id. Nama aslinya adalah Sa’ad bin Malik bin Sinan. Ayahnya bernama Malik bin Sinan yang gugur pada perang Uhud. Ia seorang Khudri yang sanadnya bersambung dengan Khudrah bin Auf bin Harits. Abu Sa’id al-Khudri adalah salah satu Sahabat yang melakukan bai’at kepada Rasulullah yang berikrarkan tidak akan tergoyah demi memperjuangkan agama Allah. Ia wafat pada tahun 74 H.

Dalam Kitab Thabaqat  Ibnu Sa’ad sesuai yang dikutip oleh Subkhi Soleh hanya mengelompokkan dalam lima thabaqat[25]. Setelah diteliti, jumlahnya meningkat menjadi 12 thabaqat Sahabat menurut urutan yang lebih dahulu memeluk Islam, hijrah, dan mengikuti perang, diantaranya sebagai berikut:[26]

  1. Mereka yang lebih dulu masuk Islam, yaitu orang-orang uang beriman di Makkah, seperti halnya sepuluh Sahabat yang mendapat kabar gembira akan masuk surga.
  2. Anggota Dar an-Nadwah yang memeluk Islam sesudah Umar masuk Islam.
  3. Para Sahabat yang hijrah ke Habsyah pada tahun kelima sesudah Rasulullah diutus. Mereka terdiri dari 11 laki-laki dan 4 wanita. Diantara mereka adalah Uthman bin Affan, Zubair bin Al-‘Awwan, Ruqayyah (isteri Uthman bin Affan dan putrid Nabi), Sahlah binti Sahl (isteri Abu Hudzaifah). Sejajar dengan kelompok ini yaitu para Sahabat yang melakukan hijrah kedua ke Habsyah. Jumlahnya sekitar 83 orang, diantaranya Ja’far bin Abi Thalib dan isterinya Asma’ binti Umais, Abdullah bin Jahsy, Ummu Habibah (isteri Ubaidullah), Abdullah (saudara Ubaidullah), Abu Musa dan Ibnu Mas’ud.
  4. Pengikut perjanjian ‘Aqabah pertama. Meraka adalah 12 Sahabat Anshar. Diantaranya adalah Jabir bin Abdullah, Uqbah bin Amir, As’ad bin Zurarah, dan Ubadah bin as-Shamit.
  5. Pengikut perjanjian ‘Aqabah kedua. Mereka terdiri dari 70 Sahabat Anshar disertai dua orang wanita, diantaranya termasuk Al-Barra’ bin Ma’rur, Sa’ad bin Ubadah, dan Ka’ab bin Malik.
  6. Para Sahabat Muhajirin yang sampai ke Madinah, ketika Nabi saw masih berada di Quba, menjelang memasuki Madinah.
  7. Para pengikut perang Badar.
  8. Para Sahabat yang hijrah diantara peristiwa Perang Badar dan Hudaibiyah.
  9. Para Sahabat yang menaklukkan bai’at di bawah pohon Hudaibiyah.
  10. Para Sahabat yang berhijrah sebelum penaklukkan Makkah dan sesudah peristiwa Hudaibiyah, diataranya termasuk Khalid bin al-Walid.
  11. Para Sahabat yang memeluk Islam pada saat penaklukkan Makkah. Jumlahnya lebih dari seribu orang, diantaranya termasuk Mu’awiyyah bin Harb dan Hakim bin Hizam.
  12. Anak-anak yang melihat Nabi saw pada hari penaklukkan Makkah dan Haji Wada’. Diantaranya dua putra Ali yaitu Hasan dan Husain, As-Sa’ib bin Yazid al-Kalabi, dan Abdullah bin az-Zubair.

Dari data tersebut bisa dijelaskan bahwa perbedaan jumlah Hadith yang diterima para Sahabat disebabkan:

  1. Sebagian para Sahabat yang memiliki kesibukan dalam memimpin sebuah khilafah atau yang lebih dikenal dengan pemerintahan seperti halnya Abu Bakr as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah dan Zubair. Sedangkan yang paling banyak masih dipegang oleh Abu Hurairah, sayyidah ‘Aisyah, Ibn Umar dan lainya dikarenakan mereka tekun, jeli dalam penulisan serta kuat hafalannya dan tidak mempunyai kesibukan apapun selain belajar dan memperoleh hadith dari Nabi. Bahkan ada dari mereka menemani dalam keseharian Nabi, sehingga secara mudah dan terencana apakah Hadith tersebut berupa perkataan, perbuatan maupun bentuk peragaan praktis langsung dicernanya. Dari ini kita mendapatkan pelajaran bahwa sesuatu yang dilakukan secara bersungguh-sungguh pasti akan membuahkan hasil yang memuaskan.
  2. Dengan adanya pertanyaan dan permasalahan baru dari manusia sehingga para Sahabat yang tekun termotivasi untuk mencari dan mendapatkan ha>dits yang langsung disampaikan oleh Nabi.
  3. Sebagian dari Sahabat mempunyai kesibukan membuka link keluar kota untuk memperluas daerah kekuasaan seperti halnya Abdullah bin Umar yang mempunyai tugas  tersebut.
  4. Perbedaan pencatatan pada masa Rasul disebabkan karena sedikitnya sarana penulisan meskipun ini bukan penyebab perbedaan penerimaan sahabat dalam menerima hadith, tetapi salah satu indikasi.[27]
  5. Sebagian sahabat mendengar hadith dari Rasulullah saw dan mengamalkannya, akan tetapi tidak merasa perlu mencatatnya.
  6. Sebagian sahabat hanya sanggup mencatat sedikit, sementara sisanya disibukkan oleh pencatatan al-Qur’an.

Dengan demikian, perbedaan jumlah Hadith yang diterima para sahabat, disebabkan mereka tidak fokus dalam belajar dan memperoleh Hadith yang disampaikan Rasul dan beberapa faktor yang mendorong mereka dalam memperluas kekuasaan demi menyerukan dakwah agama Allah yakni Islam.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

KESIMPULAN

 

Berangkat dari paparan makalah di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa :

  1. Dalam memyampaikan Hadith, Nabi menggunakan tiga metode yaitu metode lisan, metode tulisan, dan metode peragaan praktis.
  2. Perbedaan jumlah Hadith yang diperoleh para Sahabat disebabkan oleh banyak atau tidaknya bertemunya mereka dengan Nabi.

DAFTAR PUSTAKA

 

‘Azmillah, DR.Safar, Maqa>bisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia, 1984)

Abu Zahwu, Muhammad Abu Zahwi, Al-Ha>dits wa Al-Muhadditsun, (Mesir: Maktabah al-Misriyah, 1987).

Al-Haytami, Majma’al-Z}awa>id, (Cairo: Qudsi, 1956)

Al-Khatib Al-Ajjaj, As-sunnah qabla at-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981)

At-Tahhan, DR. Mahmud, Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: Diantama, 2007)

Azamai, MM, Studies in Early Hadith Literatre, (Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1991)

Bin H}anbal , Ah}mad, al-Musnad, tp, 1313

Bukha>ri, al-Jami’ al-Shah}ih}, ( Riyadh: Maktabah Ma’arif, 1991)

Dewan Redaksi, Enslikopedia Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002)

Ibnu Sa’ad, al-Thabaqa>t al-Kubr>a, (ed.Schan, Leiden, 1940) 

Muslim, Shah}ih} Muslim, dalam Mausu’ah al-H}adits, (Riyadh: Dar al-sala>m, 2000)

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta:Mutiara sumber mulia, 2003)

Said, Imam Ghazali, Perjalanan Haji Rasul, 2005

Soleh, DR.Subhki, Membahas Ilmu Hadith, (Jakarta: IKAPI, 2009)

SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA RASUL DAN SAHABAT

 

 

Makalah ini  disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah

Studi Hadith

 

 

 

HJHJ

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. H. Burhan Djamaluddin, MA

Oleh:

Abdul Basid

F 054 111 85

PROGRAM PASCASARJANA

KONSENTRASI TAFSIR HADITH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2011


[1] Syaikh Muhammad Abdul ‘Aziz, Tarikh fununul Hadits an-Nabawiyah, (Ummul Qura’: Darul Ibnu Katsir, 1984) hal.16

[2] DR. Mahmud at-Tahhan, Ushu>l al-Takhrij wa Dirasah al-Asa>nid.Terj. Imam Ghazali Sa’id, (Surabaya: diantama, 2007) xxv

[3]  DR.Safar ‘Azmillah, Maqa>bisi an-naqd Mutuni as-sunnah, (Riyadh: Saudi Arabia, 1984) hal. 11

[4] DR. Mahmud at-Tahhan …xxvi

[5] Ibid, hal xxvii.

[6] Bukha>ri, ‘Ilm, 9

[7] Said, Imam Ghazali, Perjalanan Haji Rasul, 2005,100

[8] Ibnu Sa’ad, al-Thabaqa>t al-Kubr>a, (ed.Schan, Leiden, 1940)  29-30

[9] Ah}mad bin H}anbal, Musnad V, 196

[10] Muslim, Washiyah, 14

[11] Al-Haytami, Majma’al-Z}awa>id, 164

[12] Ibnu Hajar, al-Isha>bah, 332

[13] Azamai, Studies, 184

[14] Ibnu Sa’ad, III, 201, 243 dan Ibnu Hanbal, Musnad, I, 48

[15]  Hasjim Abbas, Kodifikasi Hadith Dalam Kitab Mu’tabar, (Surabaya: Fak Ushuluddin, 2003), hal.18.

[16]  Ibid, hal.19.

[17] Al-Ajjaj Al-Khatib, As-sunnah qabla at-Tadwin, (Beirut: Dar al-Fikr, 1981). h.197.

[18] Muhammad Abu Zahwu, Al-Ha>dits wa Al-Muhadditsun, (Mesir: Maktabah al-Misriyah, 1987) ,h.129.

[19] Dewan Redaksi, Enslikopedia Islam, (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.197.

[20] Ibid,.198.

[21] Nawir Yuslem, Ulumul Ha>dis, (Jakarta:Mutiara sumber mulia, 2003), h.109.

[22] Ibid,. 132-133

[23] Ibid, .hal. 138

[24] Ibid,. 135

[25]Thabaqat adalah sekumpulan orang yang sebaya dalam usia dan dalam menemukan guru.(lihat) Subkhi soleh Membahas Ilmu Hadis hal.323.

[26] DR.Subhki Soleh, Membahas Ilmu Hadith, (Jakarta: IKAPI, 2009) hal.328-330.

[27]  Subkhi Soleh, Membahas Ilmu Hadith…hal.34

TERNYATA NASKH DALAM AL-QUR’AN TIDAK ADA ; Studi Al-Qur’an

Oleh Abdul Basid

Dipresentasikan di Seminar Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

BAB

PENDAHULUAN

Al-Qur’a>n bukanlah kitab vacum history yang hanya rekayasa belaka, melainkan kitab suci yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjadi petunjuk serta mencipta rahmat bagi orang-orang yang beriman. Oleh karenanya, dalam berupaya memahami isi kandungan al-Qur’a>n sebagai suatu petunjuk dan rahmat tersebut, sangat dibutuhkan seperangkat khazanah keilmuan yang mendukung untuk menemukan validitas sebuah tuntunan dibalik ayat-ayat suci

Ditinjau dari sisi kemampuan manusia yang berfarian dalam menanggapi ayat-ayat al-Qur’a>n, memungkinan adanya keragaman interpretasi yang membutuhkan ketekunan pengkajian dan keilmuan yang bisa mendukung penelusuran lebih jauh dalam memahami ayat-ayat suci.

            Al-Qur’a>n mengandung beberapa bagian ayat yang nampaknya kontradiksi dengan ayat lain, sehingga tanpa ada pengetahuan yang memadai tidak menutup kemungkinan seseorang akan keliru memahami ayat-ayat tersebut. Apabila terjadi kekeliruan seperti itu, sudah bisa dipastikan akan menorehkan nilai negatif  terhadap al-Qur’a>n. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam ‘Ulu>m al-Qur’a>n salah satunya dikenal dengan na>sikh dan mansu>kh yang secara spesifik membahas bagaimana mengkompromikan ayat-ayat al-Qur’a>n yang nampak bertentangan. Na>sikh dan mansu>kh terjadi karena al-Qur’a>n    diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu, untuk mengetahui al-Qur’a>n dengan baik harus mengetahui ilmu na>sikh dan mansu>kh.

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.  Pengertian Nasakh

Memahami nasakh tidak bisa terlepas dari dua sudut pandang uraian bahasan, yaitu dari sisi etimologi dan terminologi. Sebelum masuk ke dalam ranah bahasan yang lebih dalam, hendaknya dipahami bahwa nasakh jika di tilik dari sisi kata mengakar pada dua kata, yaitu na>sikh dan mansu>kh.

Na>sikh secara etimologi memiliki arti sebagaimana berikut:

  1. Menghilangkan :[1]

الرفع و الإزالة , يقال : نسخت الشمس الظل. ومنه قوله تعالى (فينسخ الله ما يلقى الشيطان)

Matahari menghilangkan jejak perjalanan

  1. Memindahkan

نسخت الكتا ب. ومنه قوله تعالى (  إ نا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون )

Saya memindahkan ( menyalin ) apa yang ada dalam buku

Dari segi Istilah, kata na>sikh berarti mengangkat, menghapus hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Na>sikh juga dipakai dalam beberapa arti antara lain pembatalan, penghapusan, pemindahan dari satu sisi ke sisi lain ataupun pengubahan dan sebagainya.

Sedangkan mansu>kh dari sisi etimologi adalah sesuatu yang diangkat, dibatalkan, dipindahkan dan dihapus, inilah sekedar pemabacaan dasar. Sedangkan secara terminologi, para ulama berbeda pendapat, sebagaimana ulama mutaqaddimi>n memperluas arti nasakh, sehingga mencakup :

  1. Membatalkan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.
  2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.
  3. Penetapan syarat terhadap hukum yang terdahulu yang belum bersyarat.
  4. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar

Ada diantara para ulama yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh kondisi tertentu telah menjadi mansu>kh apabila ada ketentuan lain.[2] Sebagaimana ada yang beranggapan bahwa ketetapan hukum Islam yang membatalkan hukum yang berlaku pada masa pra-Islam merupakan bagian dari pengertian naskh.

Sedangkan ulama muta’akhiri>n mempersempit pengertian mansu>kh, menurut mereka mansu>kh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian, guna membatalkan, mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

  Namu apabila di pahami lagi secara terminologi, sebagaiman pemahaman Quraish Shiha>b; nasakh ialah pergantian atau pemindahan dari satu wadah ke wadah yang lain . Dalam arti bahwa kesemua ayat al-Qur’a>n tetap berlaku, tidak ada kontradiksi. Yang ada hanya pergantian hukum bagi masyarakat atau orang tertentu, karena kondisi yang berbeda. Dengan demikian ayat hukum yang tidak berlaku lagi baginya, tetap dapat berlaku bagi orang-orang lain yang kondisinya sama dengan kondisi mereka semula. Pemahaman semacam ini akan sangat membantu dakwah Islamiyah, sehingga ayat-ayat hukum yang bertahap tetap dapat di jalankan oleh mereka yang kondisinya sama atau mirip dengan kondisi umat Islam pada awal masa Islam.[3]

  1. B.   Teori Dan Konsep Nasakh

Naskh pada dasarnya menggunakan logika kronologi dan wahyu progresif. The different situations encountered over the course of Muhammad ‘s more than two decade term as prophet, it is argued, required new rulings to meet the Muslim community’s changing circumstances. Situasi tersebut digunakan sebagai koneksi respek sebuah teks suci terhadap perubahan iklim sosial yang dinamis. Perlu diketahui bahwaNaskh applies to only the regulative parts of God’s revelation. naskh hanya berlaku untuk bagian-bagian regulatif dari wahyu Ilahi.

Al-Maraghi> dalam hal ini menjelaskan, bahwa hukum-hukum tidak dilegalkan kecuali untuk kemaslahatan manusia dan perubahan atau perbedaan tersebut terjadi akibat waktu dan tempat yang berbeda, sehingga apabila ada satu hukum yang dilegalkan pada suatu waktu karena adannya kebutuhan yang mendesak saat itu juga kebutuhan tersebut berakhir, maka merupakan suatu tindakan bijaksana apabila di nasakh dan disesuaikan dengan hukum yang senada dengan waktu, hal itu menjadi lebih baik dari hukum semula atau sama dari segi manfaatnya untuk hamba Allah.[4] Ibn Katsir juga berpendapat, bahwa Tidak ada alasan yang menunjukkan kemustahilan adanya nasakh dalam hukum-hukum Allah, kebijakan-Nya menetapkan segala sesuatu pasti ada bias hikmah. Terdapat beberapa cara untuk mengetahui nasakh sebagai berikut:

  1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang berbunyi :

كنت نهيتكم عن زيارة القبور فقد أذن لمحمد فى زيارة قبر أمه فزوروها فإنها تدكر الاخرة

Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad telah mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir.

  1. Kesepakatan ulama bahwa ayat ini na>sikh dan ayat itu mansu>kh
  2. Mengetahui yang mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif sejarah.

Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan adanya na>sikh dan mansu>kh dalam Al-Qur’a>n. Na>sikh dan mansu>kh hanya terjadi pada lapangan hukum saja.[5] Akan tetapi faktor-faktor tersebut akan menjadi lebih sempurna untuk memberikan pemahaman tentang na>sikh dan mansu>kh, jika syarat-syaratnya juga difahami.

  1. C.   Syarat-syarat Nasakh

Dalam menetapkan suatu ayat apakah naskh atau bukan ada ketentuan tersendiri yaitu bahwa naskh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan dengan tegas dan jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita yang bermakna perintah atau larangan. Adapun syarat-syarat naskh adalah :

  1. Hukum yang mansu>kh adalah hukum syara’
  2. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah khit}a>b syar’i yang datang lebih kemudian dari khitab yang hukumnya mansukh.
  3. Khit}a>b yang mansu>kh hukumnya tidak terikat dengan waktu tertentu.[6]

Muhammad Abu Zahrah juga memberikan komentar terhadap syarat-syarat naskh, sebagaimana berikut:

  1. Hukum yang di-nasakh-kan tidak dioperasikan secara abadi
  2. Hukum yang di-nasakh-kan bukan suatu hukum yang disepakati oleh akal sehat tentang baik atau buruknya. Semisal kejujuran, aniaya dan lain-lain
  3. Harusnya ayat nasikha>t  datang kemudian daripada ayat mansu>kha>t
  4. Keadaan kedua nash tersebut saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan satu sama lain.

Abdul Wahhab Khallaf menambahkan satu syarat dari empat syarat yang dikemukakan oleh Abu Zahrah, bahwa nash sebagai nasi>kh harus lebih kuat atau setidaknya sama kuatnya. Misalnya al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n atau al-Qur’a>n dengan hadis mutawatir (sama-sama bersifat qat}’i>).[7] Sebagian berpendapat bahwa al-Qur’a>n tidak dapat di-nasakh-kan kecuali dengan al-Qur’a>n, sebagaimana firman Allah dalam Q.S al-Baqarah.106.

  1. D.  Pembagian, Bentuk Dan Jenis Naskh dalam Al-Qur’a>n

Berdasarkan kejelasan dan cakupannya, nasikh dalam al-Qur’a>n    terbagi empat macam yaitu:[8]

1. Nasakh s}a>rih}, ialah naskh yang jelas tentang berakhirnya atau berubahnya suatu hukum. Misalnya tentang perubahan qiblat shalat, dimana pada awalnya menghadap ke baital maqdis dan pada akhirnya diubah menghadap ke Ka’bah. (QS. 2:150).

2. Nasakh D{imni> (implisit), yaitu jika terdapat dua teks yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama, dan diketahui bahwa turunnya tidak sekaligus pada waktu tertentu, maka ayat yang datang kemudian mengganti ayat yang terdahulu. Mislanya QS: 2:234 tentang iddah isteri yang ditinggal mati oleh suaminya, yakni empat bulan sepuluh hari, ayat tersebut menaskh QS: 2:240 tentang wasiat suami terhadap isteri, bahwa ia tidak boleh keluar rumah selama satu tahun.

3. Nasakh Kulli>, yaitu penggantian atau pembatalan terhadap teks hukum syara’ yang datang sebelumnya secara keseluruhan. Misalnya pembatalan wajibnya wasiat kepada kedua orang tua dan kerabat (QS: 2:180) oleh ayat mawa>rith (QS: 4:11-14).

4. Nasakh Juz’i>, yaitu penggantian atau pembatalan sebagian hukum syara’ yang umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu . Contoh hukum delapan puluh kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi.

و الذين يرمون المحصنت ثم لم يأتوا بأربعة شهداء فاجلدوهم ثمنين ولا تقبلوا لهم شهادة أبدا وأولئك هم الفاسقون.[9]

…Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka yang menuduh itu delapan puluh kali dera dan janganlah kamu terima kesaksian mereka  buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik..

Ketentuan ini diganti dengan ketentuan li’an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh. Akan tetapi bentuk-bentuk contoh ini kalau ditelaah lebih mendalam bukanlah nasakh dalam arti yang sebenarnya, namun lebih cenderung terhadap bentuk takhs}i>s} atau taqy>id. Sebagaimana bentuknya:

و الذين يرمون أزواجهم و لم يكن لهم  شهداء الا انفسهم فشهادة أحدهم أربع شهادت بالله إنه لمن الصد قين.[10]

 Dan orang yang menuduh istrinya berzina, padahal mereka tidak mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

Dilihat dari segi bacaan dan hukumnya, mayoritas ulama membagi naskh kepada tiga macam, yaitu :[11]

  1. Naskh terhadap hukum dan bacaan secara bersamaan. Ayat-ayat yang tergolong kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya, riwayat al-Bukha>ri> dan Muslim, yaitu hadis ‘A<’ishah r.a yang mengatakan :

((كان فيما أنزل عشر رضعات معلومات يحرمن فنسخن بخمس معلومات)). فتوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم ((وهن مما يقرأ من  القرآن)).

Sebagaimana yang diturunkan (ayat al-Qur’a>n) kepadanya adalah sepuluh rad}a’a>t (isapan menyusui) yang diketahui, kemudian di nasakh dengan lima (isapan menyusui) yang diketahui. Maka ketika Rasulullah wafat lima susuan ini termasuk sebagian dari al-Qur’a>n yang dibaca.

2.   Nasakh terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. semisal ajakan para penyembah berhala dari kalangan musyrik pada umat Islam untuk saling bergantian dalam beribadah telah dihapus oleh ketentuan ayat qita>l. Akan tetapi bunyi teksnya masih dapat kita temukan dalam surat al-Ka>firu>n:6, sebagaimana berikut :

لكم دينكم و لي دين[12]

Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku

3.   Nasakh terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku

Adapun dari sisi otoritas yang lebih berhak menghapus sebuah nas}, para ulama membagi nasakh ke dalam empat macam yaitu :

a)      Nasakh al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n. Nasakh seperti ini ulama sepakat akan kebolehannya.

b)      Nasakh al-Qur’a>n dengan al-Sunnah. Bagi kalangan ulama Hanafiyah, nasakh semacam ini diperbolehkan bila sunnah yang menghapusnya berkedudukan mutawa>tir atau mashhu>r.

c)      Nasakh al-Sunnah dengan al-Qur’a>n. Menurut ahli us}u>l, nasakh semacam ini betul-betul terjadi seperti penghapusan kiblat shalat dari Bait Muqaddas ke Ka’bah.

d)      Nasakh al-Sunnah dengan al-Sunnah. Bagi al-Qat}t}a>n pada dasarnya ketentuan nasakh dalam ijma’ dan qiyas itu tidak ada dan tidak diperkenankan.[13]

  1. E.   Pendapat Para Ulama Dan Tahapan Dalam al-Qur’a>n Tentang Adanya Ayat-ayat Nasakh

Ulama berbeda pendapat tentang adanya nasakh dalam al-Qur’a>n. Mereka yang menolak adanya naskh dalam al-Qur’a>n beranggapan, bahwa pembatalan hukum dari Allah mengakibatkan satu dari dua kemustahilan-Nya, yaitu :

  1. Ketidaktahuan, sehingga Allah perlu mengganti atau membatalkan satu hukum dengan hukum yang lain.
  2. Kesia-siaan dan permainan teks belaka dalam masalah naskh untuk menentukan suatu hukum.

Para ulama dalam menanggapi hal tersebut terbagi atas empat golongan :[14]

  1. Orang Yahudi. Mareka tidak mengakui adanya nasakh, karena menurut mereka naskh mengandung konsep al-bada>’, yakni kelihatan setelah tidak tampak (tidak jelas) dan hal ini mustahil bagi Tuhan.
  2. Orang Shi>’ah Rafidah, Mereka terlalu over dalam menetapkan naskh dan memberikan pemahaman terlalu luas tanpa ada batasan. Bahan rujukan dari argumentasi mereka adalah ungkapan yang dinisbahkan kepada ‘Ali> r.a secara dusta dan palsu.[15] Mereka juga berpegang pada firman Allah Q.S al-Ra’d, ayat 39, yakni :

يمحو الله ما يشاء ويثبت وعنده أم الكتب

Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan sisi-Nya-lah terdapat ummu al-kitab (lawh mahfu>z}).[16]

  1. Abu> Muslim al-As}fahani>, Secara logika beliau menerima nasakh tetapi dalam syara’ tidak. Dikatakan pula bahwa ia menolak sepenuhnya terjadi naskh dalam al-Qur’a>n  berdasarkan firman-Nya dalam Q.S Fus}s}ila>t ayat 42, yakni:

لايأتيه الباطل من بين يديه ولا من خلفه تنزيل من حكيم حميد

Yang tidak datang kepadanya (al-Qur’a>n>) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.[17]

  1. Jumhur ulama. Mereka berpendapat, naskh adalah suatu hal yang dapat diterima akal dan telah terjadi dalam hukum-hukum syara’.

Di antara tokoh yang menolak adanya nasakh adalah ‘Ali> bin Husain bin Muh}ammad yang dikenal dengan nama Ibnu Farj al-As}fahani yang menegaskan bahwa al-Qur’a>n tidak sedikitpun tersentuh oleh pembatalan, jika naskh itu diartikan dengan pembatalan maka jelas tidak ada dalam al-Qur’a>n. Adapun dalil-dalil yang dijadikan bahan rujukan dalam al-Qur’a>n diperlukan adanya reinterpretasi, sebab didalamnya terkandung berbagai konotasi dan dalil-dalil tersebut bisa saja dita’wil sesuai konteks ayat-ayat sesudah dan sebelumnya.[18]

Sedangkan Muh}ammad Abdu>h sedikit berbeda dalam memahami naskh, yaitu dengan memberikan pemahaman tabdi>l (penggantian) dan tah}wi>l (mengubah) serta al-Naql (memindahkan). Hal ini sesuai dengan pengertian naskh secara etimologi. Atas dasar inilah al-Asfahani lebih suka menyebut naskh dengan istilah takhs}i>s} (pengkhususan) meskipun ulama pendukung naskh tidak menyetujuinya.

Eksistensi kekuasaan Allah dalam konsistensi-Nya untuk menetapkan suatu hukum yang tidak mungkin berubah sangatlah jelas dalam beberapa surat yang tertuang dalam beberapa ayat, yakni:[19]

–          Al-Nah}l:101

–          Qa>f: 29

–          Al-Nah}l: 102

–          Al-Nah}l: 103.

Dalil-dalil ini sangatlah sesuai dengan pemikiran al-As}fahani seandainya memang di

KAIDAH KUALIFIKASI INTELEKTUAL MUFASSIR

Oleh: Abdul Basid

DiPresentasikan Di Seminar Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya

Abstraks

This article focuses on some intellectual requirements of Koran interpreters and their urgency and effect to the Koran interpretation. the article argues that interpreting Koran requires some disciplines of knowledge one must master them before interpreting the Koran. It also gives us proves of the urgency of the some disciplines of knowledge effects the quality of the interpretations. This article specially will presentation to know qualification of interpreter.

Bab I

Pendahuluan

Hanya mufassir yang memenuhi kriteria yang bisa dan pantas melakukan penafsiran dalam al-Qur’an, jika tidak maka sebuah penafsiran ayat al-Qur’an tidak akan sempurna, begitulah yang dikatakan adz-Zahabi. Adanya persyaratan ini sebenarnya sudah menjadi otoritas dari sebuah ilmu, dalam bidang kedokteran saja seseorang tidak dperbolehkan menangani pasien jika tidak paham benar ilmu tentang kedokteran. Bagaimana jika sebuah penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh orang yang sama sekali tidak kompeten menafsirinya, maka akan terjadi sebuah kesalahan yang terus menerus diajarkan dari masa ke masa dan terus menerus menyesatkan orang yang mempelajarinya.

Bab II

Pembahasan

Seorang mufassir al-Quran perlu memiliki kualifikasi (syarat-syarat) dan berbagai bidang ilmu pengetahuan secara mendalam. Untuk menjadi mufassir yang diakui, maka harus memiliki kemampuan dalam segala bidang. Para ahli telah memformulasikan tentang syarat-syarat dasae yang diperlukan bagi seorang mufassir.[1]

Untuk dapat menafsirkan al-Quran, maka diperlukan oleh seorang mufassir. Orang yang dapat menafsirkan al-Quran hanya orang yang memiliki keahlian dan menguasai ilmu tafsir (Ilmu pengetahuan tentang al-Quran), sedangkan orang yang belum banyak mengerti tentang ayat dan tata cara menafsirkan al-Quran dan tidak menguasai ilmu Tafsir tidak diperbolehkan menfsirkan al-Quran, hal ini dimaksudkan agar jangan sampai kitab suci ditafsirkan hanya sesuai dengan hawa nagsu keinginan mufassir, sehingga tidak sesuai dengan maksud yang dikehendaki Allah dalam firman-Nya.[2]

Larangan menafsirkan al-Quran tanpa dasar Ilmu Pengetahuan tentang al-Quran berdasarkan surat al-A’raf:33[3]

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:

Katakanlah, Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang Nampak atau yang sembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alas an yang benar dan (mengharamkan) karena mempersekutuan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) kamu mengada-adakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui.

 

Penjelasan larangan menafsirkan al-Quran tanpa ilmu pengetahuan adalah terletak pada lafadz وَأَنْ تَقُولُوا yang di athof  kan kepada hal-hal yang diharamkan sebelum lafadz ini. Oleh sebab itu mengatakan sesuatu mengenai kitab Allah tanpa dasar pengetahuan termasuk sesuatu yang diharamkan.

Selain itu terdapat hadith Nabi yang juga melarang menafsirkan al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan (terkait dengan al-Quran) dengan pemberian ancaman masuk neraka.

عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya:

dari said bin jubair, dari Ibnu Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: barangsiapa yang mengatakan tentang al-Quran tanpa dasar ilmu pengetahuan, maka tempat yang paling layak baginya adalah neraka (HR.a-Tirmidzi)

Asbabul wurud dari hadith ini terjadi ketika pada zaman nabi banyak para sahabat yang melakukan penafsiran tanpa ada dasar-dasar ilmu pengetahuan.[4] Maksud dari hadith ini adalah bahwa bagi yang menafsirkan al-Quran tanpa didasari ilmu pengetahuan akan memberikan peluang bagi orang bodoh dan orang-orang yang mempunyai niat tidak baik untuk melakukan penyelewengan terhadap al-Quran. Hal ini disebabkan mereka akan menafsirkan al-Quran dengan dasar nafsu yang pada gilirannya bertujuan membela pendapatnya atau bahkan sekedar membela kelompok atau madzhabnya.

Adapun persyaratan bagi seorang mufassir adalah sebagaimana dijelaskan oleh beberapa ulama berikut:

  1. Syekh Muhammad Hussein Adz-Dazhabi:[5]

Syarat bagi seorang mufassir adalah menguasai ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadith dan Ilmu Mauhibah (Ilmu karunia dari Allah)

  1. Syekh Manna’ al-Qaththan:[6]

Syarat seorang mufassir dan tata cara menafsirkan adalah bebas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, mencari tafsir dari al-Sunnah, prndapat dari tabi’in, mengetahui bahasa Arab dengan semua cabangnya, mengetahui pokok-pokok ilmu yang berhubungan dengan ilmu Al-Quran, dan memiliki ketajaman berpikir.

  1. Khalid al-Sabt[7]

Syarat bagi seorang mufassir (yang hampir semuanya mengenai bahasa Arab) yaitu harus mengetahui Fiqh al-Lughah, Hukum Kalimah, Ilmu Bayan, Ma’ani dan Badi’ Mubham dan Mufasshal, ‘Am dan Khas, Ilmu Kalam, dan Ilmu Qiraat

  1. Imam as-Suyuti[8]

Dalam kitabnya “al-Itqa>n” menyebutkan beberapa jenis ilmu yang diperlukan dalam menafsirkan al-Quran, yaitu:

  1. Ilmu bahasa: Ilmu Lughat sangat penting dalam menafsirkan al-Quran, guna untuk menegetahui kosakata penjelasan mufradat-mufradat (perbendaharaan kata). Jadi tidak cukup dalam menafsirkan al-Quran kalau hanya sekedar mengetahui ilmu bahasa secara mudah. Ada kalanya suatu lafadz mengandung makna musytarak (makna ganda) sekiranya hanya mengetahui salah satu dari pengertian kata sedangkan yang lain tidak diketahui, padahal makna yang lain itu dimaksud.
  2. Ilmu Nahwu: Ilmu ini sangat penting sekali, karena ilmu ini menyingkap tentang perubahan makna dan mempunyai pengertian yang lain karena perubahan I’rab nya. Semua bentuk I’rab benar-benar dikuasai agar dapat ditentukan makna yang dimaksud dalam susunan kalimat yang berbentuk berdasarkan I’rab nya. Ilmu Nahwu sangat penting karena susunan kata-katanya dapat diketahui dengan jala pembentukan kata dab I’rab suatu kalimat. Imam Hasan (Hasan bin Abi thalib) pernah ditanya tentang pentingnya mempelajari bahasa Arab, agar seseorang mengucapkan kata-kata dengan tepat serta membacanya dengan baik. Lalu Hasan menjawab: baguslah hendaklah kamu pelajari ilmu Nahwu karena sesorang yang membaca al-Quran.
  3. Ilmu Sharaf: seorang mufassir yang diketahui tentang ilmu sharaf, berarti ia dapat mengerti tentang pembentukan kalimat, timbangan kata, sighat kata dan sifat kata-kata. Bila diketahui kata-kata yang sulit, lalau segera dikembalikan pada akar katanya serta pengertiannya. Seorang yang tidak mengetahui Ilmu Sharaf dalam menafsirkan al-Quran niscaya akan terdapat kekalahan, kekeliruan dalam menafsirkan al-Quran.
  4.  Ilmu Etimologi: di dalam bahasa Arab etimologi disebut dengan “isytiqaq” yaitu ilmu tentang asal usul kata. Ilmu ini digunakan untuk mengetahui dasar pembentukan akar kata yang melahirkan akar kata yang serumpun denga pengertian yang berlainan. Umpaamnya setiap kata benda yang berasal dari kata yang berbeda tentu mengandung makna yang berbeda juga.
  5. Ilmu Balaghah (retorika, metafora). Ilmu balaghah terdiri dari tiga macam yaitu Ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu badi’. Dengan mempergunakan ilmu ma’ani seorang mufassir dapat mengetahui keistimewaan susunan kalimat, sehingga dapat mengambil faedah dari satu segi makna yang tepa. Dan dengan ilmu baya>n dapat mengetahui susunan kalimat yang khusus terutama dari segi perbedaan susunan kalimat yang menjelaskan tentang maksud suatu kalimat baik kalimat itu jelas maupun tidak jelas. Dengan menggunakan ilmu badi’dapat diketahui tentang segi-segi keindahan dari suatu kalimat.
  6. Ilmu Qira’at (cara-cara membaca al-Quran), dengan ilmu Qira’at dapat diketahui pembacaan yang benar dari beberapa kandungan penafsiran dalam al-Quran.
  7. Ilmu Ushuluddin, dengan Ilmu ini dapat diketahui kaidah-kaidah yang berhungan dengan sifat Allah dan pembahasan tentang iman.
  8. Ilmu Ushul Fiqh, dengan mengetahui ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui dan menganalisa teantang istidhlal (pembuktian) hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran.
  9. Ilmu Asbabu an-Nuzul, dengan ilmu ini seorang mufassir dapat mengetahui sebab dan latar belakang turunnya masing-masing ayat al-Quran.
  10. Ilmu Nasikh dan Mansukh, dengan ilmu ini mufassir dapat mengetahui ayat-ayat dari al-Quran yang di nasikh kan dan di mansukh kan.
  11. Ilmu Hadith, seorang mufassir yang mengetahui ilmu hadith maka akan dibantu untuk mengidentifikasikan ayat-ayat yang mujmal dan mubham.
  12. Ilmu Mubhamah, Imam asy-syuyuti mengatakan ilmu mubhamah sangat penting bagi seorang mufaasir karena ilmu ini merupakan aplikasi dari ilmu yang telah dikaji oleh mufassir untuk mengamalkannya.
  13. Ilmu sains dan teknologi, ilmu sains dan teknologi sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Quran, terutama dalam upaya menemukan teori-teori dibidang kedokteran, ilmu fisika, matematika. Karena di dalam al-Quran banyak ayat menyebutkan tentang alam semesta

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa syarat bagi seorang mufassir adalah:

  1. Mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidah bahasa (ilmu tata bahasa, sintaksis, etimologi, dan morfologi), ilmu retorika (ilmu ma’ani, ilmu bayan, dan ilmu Badi’), ilmu ushul fiqh (Khas, ‘Am, Mujmal, dan mufasshal). Tanpa memahami secara mendalam tentang bahasa al-Quran, maka besar kemungkinan bagi seorang mufassir akan melakukan penyimpangan (distorsi) dan kesalahan interpretasi. Jika seseorang tidak dapat memahami makna ayat, kosa kata dan idiom secara literal maka ia akan terjerumus kepada kesalahan dan menyebabkan terjadinya penafsiran yang kontroversial.
  2. Mengetahui pokok-pokok ulum al-Quran, seperti ilmu Qira’at, Ilmu asbabun Nuzl, Ilmu nasikh mansukh, Ilmu Muhkam Mutasyabih, Ilmu makkai madani, Ushul Tafsir, ilmu Qashash al-Quran, ilmu Ijaz al-Quran, ilmu amtsa al-Quran. Tanpa mengetahui kesemuanya itu seorang mufassir tidak akan dapat menjelaskan arti dan maksud ayat dengan baik dan benar.
  3. Mengetahui Ilmu sains dan teknologi untuk bisa bersaing dan menemukan teori-teori baru yang terkandung dalam al-Quran.
  4. Mengetahui hadith-hadith Nabi dan segala macam aspeknya. Karena hadith-hadith itulah yang berperan sebagai penjelas terhadap al-Quran, sebagaimana keterangan surat al-Nahl:44.
  5. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabia’t nya, terutama dari orang-orang Arab pada masa turunnya al-Quran, agar mengerti keselerasan hukum-hukum al-Quran yang diturunkan untuk mengatur perbuatan-perbuatan mereka.

 

Menurut Imam al-Zarqani, bahwa keharusan memenuhi semua, syarat-syarat tersebut adalah untuk dapat mencapai tingkatan tafsir yang tertinggi, untuk mengetahui dan menjelaskan arti dan maksud ayat-ayat al-Quran dan mengistimbatkan kandungan hukum-hukumnya.[9] Tetapi kalau hanya sekedar untuk mencapai tingkatan tafsir yang terendah, hanya sekedar mengetahui arti ayat yang umum secara singkat, agar dapat merenungkan kebesaran Allah. al-Zarqani menambahkan karena apabila semua orang yang akan memahami, mengetahui dan merenungi arti dan maksud ayat harus lebih dahulu memenuhi segala syarat-syarat tersebut.[10]

Menurut Ibn Mandah, “Seseorang tidak bisa menjadi penafsir kecuali telah menguasai ilmu-ilmu ini (yang merupakan perangkat bagi penafsir). Barang siapa menafsirkan tanpa ilmu-ilmu tersebut, maka ia termasuk penafsir dengan pendapat yang dilarang dan jika ia menafsirkan dengan ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak termasuk penafsir dengan pendapat yang dilarang.”[11]

Sebenarnya syarat-syarat di atas kurang memadai, tetapi minimal sudah sepantasnya ada pada diri penafsir mengingat kandungan al-Quran mencakup banyak hal, baik berupa akidah, syari’ah, akhlak, informasi tentang umat terdahulu, dan informasi tentang masa depan.[12] Penafsir ibarat seorang pejalan kaki pada malam hari yang membutuhkan alat penerang agar sampai di tempat tujuan, dan ilmu-ilmu tersebut adalah alat penuntun mereka dalam berusaha memperoleh penafsiran sebagaimana yang dikehendaki Allah. Oleh karena itu, tidak semua orang bisa menafsirkan al-Quran selain karena tidak memiliki ilmu yang memadai, ada juga yang takut kepada Allah bila menafsirkan tanpa ilmu seperti tokoh sekaliber Abū Bakr al-Ṣiddīq.[13]

Pada generasi sahabat dan tabi’in hanya beberapa orang yang bisa menafsirkan al-Quran padahal jarak waktu zaman mereka dekat dengan zaman Nabi, dan problem hidup yang mereka hadapi tidak begitu kompleks seperti yang dihadapi oleh generasi-generasi sesudahnya hingga sekarang yang menuntut mereka untuk menguasai beragam disiplin ilmu yang lebih banyak guna menghasilkan penafsiran yang sesuai dengan kebutuhan zamannya. bahkan ada sebagian sahabat yang enggan menafsirkan al-Quran seperti Abū Bakr al-Siddi>q dan Ibn ‘Abbās, dan sebagian tabi’in seperti Sālim ibn ‘Abdullāh, al-Qāsim ibn Muḥammad, Sa’īd ibn al-Musayyab, Jundub ibn ‘Abdullāh, dan al-Sha’bī. Padahal mereka lebih layak dan mumpuni dalam menafsirkan al-Quran, karena beragam disiplin ilmu di atas sudah tentu ada pada diri mereka.[14]

Adz-Zahabi berpendapat, bahwa jika seorang mufassir tidak terpenuhi pada diri penafsir, tentu saja bisa berdampak sangat fatal sehingga menurunkan kualitas tafsirnya.Dampak bilamana seorang mufassir tidak memahami Ilmu tersebut adalah:[15]

  1. Seorang mufassir akan cenderung fanatik dengan pemikirannya.
  2. Seorang mufassir akan terpengaruh oleh situasi lingkungannya.

Penulis lebih cendrung dengan pendapat adz-Zahabi, karena seorang mufassir harus mempunyai ilmu yang berkaitan dengan tafsir, ilmu tentang tafsir  adalah alat yang dipakai untuk mengupas tuntas apa dan bagaimana al-Qur’an dikaji, seorang petani tidak akan bisa membajak sawahnya apabila tidak mempunyai alat untuk membajak dan mencangkul sawahnya, sama halnya bagi seorang mufassir al-Quran harus memenuhi syarat-syarat mufassir. Hazim Sa’id al-Haidar menambahkan, untuk mendapatkan penafsiran yang berkualitas, selain menguasai ilmu-ilmu tersebut mufassir juga harus memahami cabang-cabang ilmu pengetahuan yang mendalam dan menyeluruh, sebagaimana berikut ini:[16]

  1. Memaham watak dan rasa terminology yang benar, yang sering digunakan dalam al-Quran berdasarkan atas pemakaian para ahli bahasa.
  2. Ilmu tentang prosedur yang indah (pendekatan sastra yang dipakai dalam praktik al-kalam (kefasihan berbicara dan penerapannya).
  3. Pengetahuan tentang ilmu-ilmu humaniora, filsafat ketuhanan, dan prosedur dalam evolusi bangsa-bangsa bersama perbedaan-perbedaannya, baik dalam kekuatan, kelemahan, iman, kufur, maupun kekerasan dan kelembutan.
  4. Pengetahuan tentang hidayah al-Quran untuk manusia. berkaitan dengan hal ini sahabat umar bin Khatab berkata: “kebaikan Islam tidak akan jelas jika seseorang tidak paham tentang kehidupan jahiliyyah.”
  5. Pengetahuan tentang biografi Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya terkait dengan pengetahuan dan amaliah dalam urusan agama maupun keduniaan.

 

 

Bab III

Kesimpulan

Kaedah keilmuan yang disyaratkan bagi seorang mufassir adalah ilmu Nahwu, Ilmu sharaf, Ilmu Lughah, Ilmu Isytiqaq, Ilmu ma’ani, Ilmu Bayaan, Ilmu Badi’ Ilmu Qira’at, Ilmu Kalam, Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Qashas, Ilmu Nasikh mansukh, Ilmu Hadith dan Ilmu Mauhibah, ilmu Science dan Teknologi, ilmu-ilmu humaniora

 


[1] Husain Bin aly> Bin al-Harby, Qawa>’id al-Tarjih ‘Inda al-Mufassirin, ( Riya>d, Da>r al-Qasim, 1996),17

[2] Manna>’ al-Qattan, Maba>hith fi Ulu>m al-Hadith, (ttp, Mansurat al-asri’ al-Hadith,1973),15

[3]  Al-Qur’an, 7:33

[4]Muhammad Mahmud Bakr, Asbab Rad al-Hadith, (Riyadh, Ja>mi’ah al-Imam Muhammad Ibn as-Su’udi, tt) 63,…Sunan At-Tirmidzi, 2357

[5] Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, at-Tafsir wa al-Mufassiru>n, (Beirut, Maktabah al-wahbah, 2000), 21

[6]  Manna’ al-Qatta>n, Mabahith fi Ulu>m al-Qur’an, (Cairo: Maktabah al-Wahbah, 2000), 30

[7] Khalid al-Sabt, Qawa>id al-Tafsir, (Cairo: Da>r Ibnu Affan, tt), 37

[8]  Jala>ludddin as-Suyu>ti, al-Itqa>n fi Ulu>m al-Qur’an, ( Saudi Arabia: Majma’ Ma>lik Fahd, tt), 211

[9]    Muhammad abdul Adzim al-Zarqa>ni, Mana>hi al-‘Irfan fi al-Ulu>m al-Qur’an, (ttp, Da>r al-Kitab al-‘Arabi, tt), 79

[10]   Ibid, 90

[11]   Khalid al-Sabt, Qawa>id…..217

[12]  Muhammad abdul Adzim al-Zarqa>ni, Mana>hi al-‘Irfan….81

[13]  Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, at-Tafsir….57

[14] Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, at-Tafsir ….. 65

[15] Muhammad Hussein Adz-Dzahabi, at-Tafsir….70

[16]  Hazim Sa’id al-Haidar, Baina al-Itqan wa al Burha>n, (Madinah, Da>r az-Zaman, 2000), 19.

ABSTRAKSI

Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain. Tarekat adalah organisai dari pengikut sufi-sufi besar. Mereka mendirikan organisasi-organisasi untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya. Maka timbullah tarekat. Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat (disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

Pendahuluan

Cikal bakal tasawuf dan tarekat, benih-benih dan dasar ajarannya tak dapat dipungkirisudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidup, dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.

Para Sufi dan Syekh-syekh Mursyid dalam tarekat, merumuskan bagaimana sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat jalan yang harus dilalui oleh para calon sufi atau muri tarekat secara rohani untuk cepat bertaqarrub, mendekatkan diri kehadirat Allah SWT.

Kenyataan dalam sejarah juga menunjukkan, bahwa peran serta aktif dari para sufi dan para tuan syekh, mursyid, adalah amat besar dalam dakwah islam dan dalam pembinaan umat, tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiyah, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Di dalam karya ilmiah ini, penulis memfokuskan pada Tarikat An-Naqsabandiyah.

 

 

 

BAB II

Studi Kritis Tarekat Naqsabandiyah

 

A. Pendiri Tarekat Naqsabandiyah

Pendiri tarekat Naqsabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsabandi (717  – 791 H / 1318 – 1389 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Ia belajar ilmu tasawuf kepada Baba al-Syamasi ketika berumur 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada Qutb di Nafas, yaitu Amir sayyid Kulal al-Bukhari  (w.772 / 1371). Kulal adalah seorang Khalifah Muhammad Baba al-Samasi.[1] Dari kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya.

Selain itu Naqsabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama satu tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748 H / 1347 M, ia pergi ke zirwatun untuk mengembala binatang ternak. Hal ini dilakukan sebagai pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber kasih sayang dan cinta kepada sesame manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[2]

Pendidikan Naqsabandi dari kedua guru utamanya, yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuatnya mendapat amanah sebagai pewaris tradisi Khawajagan[3]. Dikampung halamannya, ia mempunyai sepetak tanah yang dikelola orang lain. Berkait dengan jalan misti yang ditempuhnya, Naqsabandi mengatakan bahwa ia berpegang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya, ia mengatakan bahwa sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang tauh}id, tetapi sangat sulit mencapai makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pengetahuan dan pengalaman spiritual.

B. Penyebaran Naqsabandiyah

Tarekat Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang mempunyai dampak dan pengaruh yang sangat besar kepada masyarakat muslim di berbagai wilayah yang berbeda-beda. Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India. Di Asia Tengahbukan hanya di kota-kota penting, melainkan di kampung-kampung kecil tarekat ini mempunyai padepokan sufi dan rumah peristirahatan naqsabandi sebagai tempat berlangsungnya aktifitas keagamaan.[4]

Ciri Tarekat Naqsabandiyah

  1. Mengikuti syariat secara khusus, keseriusan dalam beribadah.
  2. Menolak terhadap musik dan tari.
  3. Lebih menyukai berdzikir dalam hati.
  4. Mendekatkan Negara pada Agama.
  5. Mengubah pandangan penguasa tentang politik praktis.

Baha’ al-Din Naqsabandi sebagai pendiri tarekat ini, dalam menjalankan aktifitas dan penyebaran tarekatnya mempunyai 3 orang, yakni Ya’qub Carkhi, ‘Ala> al-Din Aththar dan Muhammad Parsa. Masing-masing dari mereka mempunyai seseorang yang dipercaya untuk melanjutkan, misalnya Ya’qub Carkhi mempunyai murid yang bernama Khwaja ‘Ubaidillah A}hra>r ( 806 H-896 ). Dia juga mempunyai peran penting membuka link dengan kalangan istana, dalam hal ini pangeran Abu Sa’id sebagai penguasa dinasti Timurid di Herat sebuah kota  di Negara Afganistan.[5]

Sebagai kompensasi atas dukungan politiknya kepada Abu Sa’id, ‘Ubaidillah mendapat kekuasaan  politik yang luas jangkauannya. Karena situasi dan pengaruh yang besar dari ‘Ubaidillah, kemudian Tarekat Naqsabandiyah ini pertama kali menyebar ke luar Asia Tengah, ia mengangkat beberapa murid untuk diutus ke negeri Islam lain seperti Qazwin, Isfahan dan Tabriz di Iran, dan bahkan sampai ke Istanbul.[6]

Tokoh lain yang juga mempunyai peran dalam penyebaran tarekat ini adalah Sa’id al-Din Kashghari. Ia bertempat tinggal di Herat ibu kota kekaisaran Timurid (sekarang kota besar di Afganistan), ia telah membaiat penyair dan ulama besar ‘Abd al-Rah}m>an Jami, yang berjasa mempopulerkan tarekat ini di lingkungan istana dan menyebar ke selatan

Abd Rahman Jami’ (827-829 H), setelah menyelesaikan pendidikannya dalam bidang kajian tradisional, kemudian ia bergabung dengan disiplin Kasyghari selama beberapa tahun dan menyerahkan diri pada pertobatan dibawah pengawasannya. kontr ibusi jami’ pada tasawuf adalah paparannya tentang pemikiran Ibnu Arabi yang mmenguraikan beberapa konsep mengenai kesatuan wujud. Syair-syairnya banyak membantu dalam menyebarkan segenap konsep kesatuan  wujud.[7]

Penyebaran tarekat Naqsabandiyah kemudian memasuki wilayah India (yang kemudian berpengaruh ke wilayah Indonesia), sekitar abad 10/16atau tepatnya pada tahun 1526. Tahun ini bertepatan ditaklukkan Indian oleh Babur, pendiri kekaisaran Moghul. Kaisar sendiri adalah pengikut Tarekat Naqsyabandiyah dan para tentaranya. Beberapa khalifah ‘Ubaidillah Ahr>ar (w.1490), mengikut sertakan pasukan penakluknya ke India, dan sepanjang abad itu telah terjadi gelombang perpindahan kaum Naqsyabandiyah Asia Tengah ke India.

Diantara syaikh-syaikh Naqsabandi yang datang ke India adalah Baqi Billah (971-1012 H/1563-1603 M). dia dilahirkan di Kabul tahun 1564 dan telah belajar ke beberapa tokoh Naqsabandi sebelum ia bermukim di India. Hampir semua pengikut Naqsabandi diseluruh dunia dewasa ini menarik garis keturunan spiritual mereka melalui Baqi Billah dan khalifahnya Ahmad Sirhindi karena mereka telah membawa benih kesuciannya dalam tarekat Naqsabandiyah dari Samarkand dan Bukhara dan meyemaikannya di tanah India. Dalam jangka waktu yang singkat yakni lima tahun, mereka mampu memberikan dan menyampaikan pesan silsilah kepada para ulama, kaum sufi dan para pejabat tinggi.[8]

Perluasan dan aktifitas Tarekat Naqsabandiyah di India mendapat dorongan yang sangat tinggi dibawah kepemimpinan Sirhindi (972-1033 H/1564-1624 M) yang dikenal sebagai Mujtahid Alfi Tsani (Pembaharu millennium kedua, w.1642), pada akhir abad kedelapan  belas nama syaikh Sirhandi hampir disamakan dengan tarekat naqsabandiyah  di seluruh Asia selatan, wilayah ‘Utsmaniyah dan sebagian besar Asia tengah. Posisi sirhandi cukup unik dalam sejarah intelektual Tarekat Naqsandiyah, sekalipun mengikuti prinsip-prinsip dasar dan fundamental tarekat ini, ia memberikan orientasi baru dalam doktrin-doktrinnya dalam membuang doktrin tentang kesatuan wujud yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi dan diterima oleh hampir semua Syaikh Naqsabandiyah, seperti Baha’ al-Din, Ubaidillah Abrar, dan Maulanna Jami’.[9] Ahmad Sirhandi seperti para syaikh Naqsabandi terdahulu di Asia Tengah, menuntut murid-muridnya agar berpegang secara cermat pada al-Qur’an dan tradisi-tradisi Nabi (Sunnah).

Ketika Sirhandi berhasil mengukuhkan dirinya sebagai penerus khanaqah baqi Billah di Delhi, Taj al-Din seorang khalifah Baqi Billah yang dianggap saingannya dalam membela wahdat al-wuju, dengan kecewa meninggalkan Delhi kemudian menetap di Makkah.  Di sana seorang sufi yang cukup mashur, Ahmad  Ibn Ujail dan Muhammad Abd Baqi Muhammad adalah pembimbing Yusuf Makassari yang tercatat sebagai orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Naqsandiyah di nusantara[10]

C. Dari Bukhara ke Nusantara

Dalam perkembangan dan penyebaran dinusantara, Tarekat Naqsandiyah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan antara lain, gerakan pembaharuan dan politik. Penaklukkan Mekkah pada tahun 1924, berakibat besar terhambatnya perkembangan Tarekat Naqsandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan Mekkah dipimpin oleh kaum wahabi yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak saat itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat di Makkah bagi jamaah haji khususnya dari Indonesia yang dari setiap generasi banyak dari mereka masuk tarekat.[11]

Syaikh Yusuf Makassari (1626-1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Naqsandiyah di nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya “Safinah an-Najah” , ia menerima ijasah dari syaikh Muhammad abd Baqi’ di Yaman kemudian mempelajari tarekat ketika berada di Madinah di bawah bimbingan syaikh Ibrahim al-Kurani. Syaikh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerajaan di daerah itu. Ia dilahirkan di Makassar pada tahun 1626 M. pada tahun 1644 dalam usia yang relative muda ia pergi ke Yaman dan diteruskan ke Makkah lalu Madinah untuk menuntut ilmu dan naik haji. Pada tahu 1672 ia kembali ke Indonesia, namun situasi politik di Makassar pada watu itu menyebabkan ia mengurungkan niat untuk pulang ke kota kelahirannya, dan memilih untuk menetap di Banten sebagai pusat pendidikan Islam yang menarik para pelajar untuk berdatangan ke sana dari segala penjuru Nusantara.[12]

Mungkin saja syaikh Yusuf bukan orang pertama yang menganut Tarekat Naqsandiyah di Indonesia. Namun ia adalah orang pertama yang menulis tentang tarekat ini, sehingga kemudian ia dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Naqsandiyah di Indonesia. Ia menulis berbagai risalah mengenai tasawuf dan menulis nasihat-nasihat kerohanian untuk orang-orang penting misalnya, pemimpin lasykar kerajaan Gowa. Kebanyakan risalah dan surah-surah yang sudah pasti ditulis oleh Syaikh Yusuf ditulis dalam bahasa Arab dan lainnya ditulis dalam bahasa bugis.

Di Madura Tarekat Naqsandiyah sudah lahir sejak akhir abad kesembilan belas. Para penganutnya tidak mempunyai hubungan langsung dengan penganut jawa, karena orang Madura mengikuti cabang yang lain dari Tarekat ini. Tarekat Naqsandiyah sekarang ini merupakan tarekat yang paling berpengaruh di Madura dan beberapa tempat lain yang banyak penduduknya berasal dari Madura, seperti Surabaya, Jakarta, dan Kalimantan Barat. Sejumlah Mursyid di Madura tampaknya telah menetapkan semacam kepemimpinan bersama dalam Tarekat, secara kolektif melayani masyarakat pengikut yang sama.[13]

Tiga Syaik Madura, hampir semuanya berasal dari Sampang, secara bergiliran mengunjungi masyarakat Madura di Kalimantan Barat, dan berhasil membai’at sejumlah pengikut baru. Sejumlah masjid besar kepunyaan orang Madura dikunjungi syaikh. Dan sebagian mereka menganggap syaikh ini sebagai mursyid. Fath al-Bari adalah orang yang pertama kali yang mengunjungi masyarakat Madura di Kalimantan Barat.

Terdapat keunikan lain dari Tarekat Naqsandiyah di Madura, yang tidak dijumpai di antara penganut  Tarekat Naqsandiyah di Indonesia dan negeri-negeri lain. Yakni beberapa mursyidnya adalah adalah perempuan. Mereka tidak hanya bertindak sebagai asisten dari para suami yang lebih dominan, tetapi mereka benar-benar mandiri. Kasus di Madura, misalnya Nyai Thobibah, ia mendapat ijasah penuh dari Ali Wafa. Syarifah Fathimah di Sumenep adalah mursyid perempuan lain yang mempunyai pengikut yang sangat banyak di Malang Selatan dan Kalimantan Barat. Hal ini menunjukkan bahwa Tarekat Naqsandiyah mempunyai pengikut yang cukup banyak dari kaum perempuan Madura. Barangkali kehadiran para mursyidah tersebut menunjukkan toleransi orang Madura yang lebih besar terhadap kepemimpinan perempuan, meskipun terbatas di kalangan mereka sendiri. Penyebaran Tarekat Naqsandiyah juga terjadi di Minagkabau, Jawa Tengah, Rembang, Blora, banyumas, Purwokerto, Cirebon, Jawa Timur bagian Utara, Kediri dan Blitar.[14]

Tarekat ini tersebar hampir ke seluruh provinsi yang ada ditanah air, yakni sampai ke jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatera, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-dareh lain. Inilah satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran tarekat yang sedemikian luas dan diterima oleh orang-orang awam dari latar belakang, menyebabkan timbulnya variasi vokal, yang merupakan bagian tarekat ini. Walaupun demikian Tarekat Naqsandiyah masih tetap mempertahankan watak khasnya. Pengikut Tarekat Naqsandiyah terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.

D. Teknik Dan Ritual Tarekat Naqsabandiyah

Tarekat Naqsandiyah, seperti juga tarekat yang lainnya mempunyai tata cara ritual tersendiri, sebagai berikut:[15]

  1. Husy dar dam, “sadar diwaktu bernafas” suatu latihan dimana seseorang harus  menjaga diri dari kekhilafan dan kealpaan ketika keluar masuk nafas, supaya hati selalu merasakan kehadiran Allah. Hal ini dikarenaka setiap keluar masuk nafas yang hadir beserta Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih dekat kepada Allah. karena kalau orang lupa dan kurang perhatian berarti kematian spiritual dan mengakibatkan orang akan jauh dari Allah.
  2. Nadzar bar qadam, “menjaga langkah” seorang murid yang sedang menjalani khalwat suluk , bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki. Dan apabila duduk, tidak memandang ke kiri atau ke kanan. Sebab memandang kepada keaneka ragaman ukiran dan warna dapat melalaikan orang lain dari mengingat Allah, selain itu juga supaya tujuan-tujuan yang (rohaninya) tidak dikacaukan oleh segala hal yang berada di sekelilingnya yang tidak relevan.
  3. Safar dar wathan, “ melakukan perjalanannya di tanah kelahiran”, maknanya adalah melakukan perjalanan batin dengan meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akibat hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. Atau maknanya adalah berpindah dari sifat-sifat manusia yang rendah kepada sifat-sifat malaikat yang terpuji.
  4. Khalwat dar anjuman,” sepi di tengah keramaian”, khalwat bermakna menyepinya seorang murid, sementara anjumandapat berarti perkumpulan tertentu. Berkhalwat terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
    1. a.       Khalwat lahir, yaitu orang yang bersuluk mengasingkan diri ke sebuah tempat tersisih dari masyarakat.
    2. b.      Khalwat batin, yaitu mata hati menyaksikan rahasia kebesaran Allah dalam pergaulan sesame makhluk.
  5. Yad krad,”ingat atau menyebut” ialah berdzikir terus-menerus mengingat Allah, baik zikir ism al-dzat (menyebut Allah), maupun dzikir naïf itsbat (menyebut La ila>ha Illa> Allah). bagi kaum Naqsabandiyah zikir itu tidak terbatas dilakukan secara berjamaah ataupun sendirian sesudah shalat, tetapi terus-menerus supaya di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
  6. Ba>z Ghust, “kembali “, memperbaharui”. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan hati agar tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang. Sesudah menghela nafas, orang yang berzikir itu kembali bermunajat dengan mengucapkan kalimat yang mulia ilahi> anta maqshudi> wa ridhaka mathlubi>.( ya tuhanku, engkaulah tempatku memohon dan keridhaanMu lah yang ku harapkan). Sewaktu mengucapkan zikir, makna dari kalimat ini harus selalu berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang paling halus kepada Allah semata.
  7. Niga>h Dasyt,” waspada”. Ialah setiap murid harus menjaga hati, pikiran, dan perasaan dari sesuatu walapun sekejap seketika melakukan zikir tauhid. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari   kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memelihara pikiran dari perilaku agar sesuai dengan makna dzikir tersebut.
  8. Ya>d dasyt,”mengingat kembali” adalah tawajuh (menghadapkan diri) kepada nur dzat Allah, tanpa kata-kata. Pada hakikatnya menghadapkan diri dan mencurahkan perhatian kepada nur dzat Allah tiada lurus, kecuali sesudah Jana>’ (hilang kesadaran) yang sempurna. Tampaknya hal ini semula dikaitkan pada pengalaman langsung kesatuan dengan yang ada (wahdat al-wujud) .

E. Zikir

Titik berat amalan penganut Tarekat Naqsandiyah adalah zikir. Zikir adalah berulang-ulang menyebut nama Allah atau menyatakan kalimat La ila>ha Illa> Allah dengan tujuan untuk mencapai kesadaran akan Allah. para penganut Naqsabandiyah lebih sering melakukan zikir sendiri, tetapi bagi mereka yang tempat tinggalnya berdekatan dengan syaikh cenderung iktu serta secara teratur dalam pertemuan dimana majlis zikir dilakukan. Tarekat Naqsabandiyah mempunyai dua macam zikir, yaitu:[16]

  1. Zikir Ism al-dzat, artinya mengingat nama yang Haqiqi dengan mengucapkan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali sambil memusatkan perhatian kepada Allah.
  2. Zikir tauhid, artinya mengingat keesaan. Zikir ini terdiri atas bacaan perlahan diiringi dengan pengaturan nafas, kalimat La ila>ha Illa> Allah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) memalui tubuh. Caranya, pertama bunyi La> digambar dari daerah pusar terus ke atas sampai ke ubun-ubun, kedua. Bunyi ila>ha  turun ke kanan dan berhenti di ujung bahu kanan, ketiga, kata berikutnya illa>  dimulai dan turun melewati bidang dada sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata terakhir Allah dihujamkan sekuat tenaga. Orang yang sedang berzikir membayangkan jantung itu berdenyutkan nama Allah, dan memusnahkan segala kotoran.

Sebagian ulama menyatakan bahwa zikir anggota tubuh (jawarih) adalah:

  1. Zikir mata dengan menangis
  2. Zikir telingan dengan mendengar yang baik-baik
  3. Zikir lidah dengan memuji Allah
  4. Zikir tangan dengan member sedekah
  5. Zikir badan dengan menunaikan kewajiban
  6. Zikir hati dengan takut dan mengharap
  7. Zikir roh dengan penyerahan diri kepada Allah

Terdapat 7 tingkatan zikir dalam Tarekat Naqsabandiyah:

  1. Mukasyafah, mula-mula zikir dengan menyebut Nama Allah dalam hati sebanyak 5000 kali sehari semalam. Setelah melaporkan perasaan selama berzikir, maka syaikh menaikkan zikirnya menjadi 6000 kali sehari semalam.
  2. Latha>if, setelah melaporkan perasaan yang dialami dalam berzikir itu, maka atas penilikan syaikh, dinaikkan zikirnya menjadi 7000. Dan demikianlah seterusnya menjadi 8000, 9000, 10.000 kali sehari semalam. Zikir tersebut dinamakan latha>if sebagai maqam kedua.

Maqam lathi>fah-lathi>fah juga terbagi menjadi 7 macam, yaitu:

  1. Lathi>fah al-Qalbi>, zikir sebanyak 5000 kali ditempatkan dibawah dada sebelah kiri dan kurang lebih dua jari dari rusuk.
  2. Lathi>fah al-Ru>h}, zikir sebanyak 1000 kali di bawah dada kanan, kurang lebih dua jari ke arah dada.
  3. Lathi>fah al-Sirr (1000 kali) dua jari diatas dada
  4. Lathi>fah al-Khofi (1000 kali) diatas dada kanan
  5. Lathi>fah al-Akhfa (1000 kali) di tengah-tengah dada
  6. Lathi>fah al-Nafsi al-Nathiqah (1000 kali) diatas kening
  7. Lathi>fah al-Kull al-Jasad (1000 kali) diseluruh tubuh
  8. 3.      Nafi Itsbat, 11.000 kali dengan membaca La ila>ha Illa> Allah
  9. 4.      Wuquf qalbi
  10. 5.      Ahadiah
  11. 6.      Ma’iah
  12. 7.      Tahlil

 

  1. F.  Silsilah guru-guru Naqsabandiyah mengikuti garis Nabi Muhammad SAW

Muhammad SAW

Salman Al-Farisi

Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq

Abu Yazid Thaifur al-Bisthami (w.260/874)

 

Muhammad Baha’ al-Din Naqsyaband

Amir Sayyid Kulal al-Buknari (w.772/1371)

Azizan Ali al-Ramitani (w.705/1360)

Mahmud Anjir Gaghnawi (w.643/1245)

Abd al-Khaliq al-Gudjawani (w.617/1220)

Arif  al-Riwgari (w.657/1259)

Abu Ali al-Farmadni (w.477/1084)

Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani (w.535/1140)

        

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

Kesimpulan

Penulis menyimpulkan bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas social. Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arah yang diridai Allah, dengan jalan pengamalan syariat dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untuk mencapai makrifat. Apa yang dimaksud dengan makrifat dalam tema mereka adalah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tauhid, yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatu selain Allah.

Bibliografi

 

Fakhri Madjid, A History of Islamic Philosophy, (London: Columbia University Press, 1983)

K.A Nizami, Sayyed Hossein Nasr (Ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, Terj.( Bandung: Mizan, 1977)

Mulyati, Sri Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2004)

Nasution, Harun “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Depag,2003),hal.35

Sajaroh, Wiwi Siti “Tarekat Naqsabandiyah: Menjalani Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa’, ( Jakarta: Ensiklopedi Oxford, 1997)


[1] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2004), 90.

[2] Ibid, 90, Lihat Juga, K.A Nizami, Sayyed Hossein Nasr (Ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam: Manifestasi, Terj.( Bandung: Mizan, 1977), 22.

[3] Khawajagan adalah tarekat yang popular di timur tengah.

[4] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..91

[5] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Depag,2003),hal.35

[6]  Ibid,.93.

[7] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, (Jakarta:Depag,2003),hal.40

[8] Sayyed Hossein Nasr (Ed) Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam:. 25

[9] Madjid Fakhri, A History of Islamic Philosophy, (London: Columbia University Press, 1983).90

[10] Wiwi Siti Sajaroh, “Tarekat Naqsabandiyah: Menjalani Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa’, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford…, hlm.91.

[11] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..94

[12] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia.. 107

[13] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..98

[14] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..99

[15] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..100

[16] Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah Di Indonesia..101

ABSTRAKSI

 

Di dalam masa poligami itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

              Dengan munculnya poligami Nabi Muhammad, poligami yang telah berlaku sebelum masa beliau menghadapi d\ecentering (penghilangan pemusatan) dari poligami Nabi Muhammad. Proses d\ecentering tersebut terlihat pada beberapa hal, pertama, pembatasan jumlah, kedua, perintah berlaku adil dan ketiga, memiliki dimensi ilahi. Adapun alasannya adalah salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi dan sahabat pindah ke Madinah.

Kata kunci: Poligami 

 

BAB I

PENDAHULUAN

Pembunuhan karakter melalui isu seksual, adalah hal yang biasa dilakukan para orientalis. Para nabi sering digambarkan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Seperti halnya Nabi Muhammad dengan pembunuhan karakternya sebagai Nabi dan Rasul Allah. masalah istri-istri nabi[1] seringkali dijadikan bahan ejekan, dengan meninggalkan fakta-fakta dibalik pernikahan tersebut. Bahkan diantara para orientalis mengejek bahwa nabi adalah setan antikristus dan pegila seks. Sebut saja Marthin Luther dan de monde corce – salah seorang reformis agama kristiani dan pendiri aliran protetanisme yang menuduh dan melecehkan Nabi Muhammad dengan tuduhan keji dan dusta.

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.       Poligami

     Poligami dalam bahasa arab adalah Ta’addu Az-Zawaj yang berarti perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua sampai empat orang istri[2] dalam waktu yang sama.[3]Poligami bukan merupakan yang pertama diperkenalkan oleh Nabi Muhammad secara praktiknya, akan tetapi fir’aun juga melakukan poligami dengan memiliki 8 istri dan 150 selir.[4]

     Secara historiografis sangatlah menarik sebab mengangkat permasalahan ini secara seimbang. Pendekatan historiografis ini mengungkapkan adanya dua aspek di dalam poligami Nabi Muhammad yaitu, pertama aspek histori dan kedua faktor religius.[5]

     Faktor historis yang terdapat dalam poligami Nabi Muhammad ialah pertama, tindakan tersebut dilakukan di dalam satu ruang (sosio-kultural-relijgius) dan waktu, kedua, tindakan tersebut melibatkan keutuhan Pribadi Nabi Muhammad. Sementara faktor relegius yang terdapat di dalam poligami Nabi adalah suatu keyakinan dalam Nabi bahwa Allah akan menolong dirinya dikala menghadapi kesusahan

     Sejarah mencatat bahwa masa kenabian Nabi Muhammad diketahui dimulai saat beliau menerima wahyu pertamanya ketika berusia 40 tahun. Sebelum memulai masa kenabiannya, Nabi Muhammad bekerja bersama pamannya sebagai seorang pedagang. Ia menjadi orang kepercayaan Khadijah di dalam kegiatan perniagaan. Ia juga menjadi suami bagi Khadijah. Itu semua terjadi pada masa Nabi Muhammad berada pada periode Makkah.

Di kota Madinah, Nabi Muhammad tidak sekedar menjadi seorang Nabi dan suami Khadijah. Di tempat ini pula Nabi menjadi pimpinan bagi kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ia juga menjadi  kepala bagi komunitas agama-politik di Madinah.

     Dari Madinah, Nabi mengatur kepemimpinannya baik secara diplomatik ataupun militer. Ia menjadi administrator dan menjadi pemimpin militer. Ia tidak segan ikut bersama pasukannya didalam sejumlah perang.[6]

     Terkait dengan status dan posisi Nabi Muhammad, ada beberapa catatan penting yang terjadi di dalam kehidupan Nabi Muhammad yang berhubungan dengan aktifitas poligami Nabi Muhammad yaitu mengenai periode kesedihan yang ada dalam kehidupan Nabi sangat penting untuk dicermati. Adapun alasannya adalah salah satu pernikahan Nabi setelah wafatnya Khadijah adalah dengan Saudah yang mengambil tempat di Makkah. Kedua, adanya peristiwa historis tentang suatu tekanan yang cukup kuat dari lawan-lawan Nabi Muhammad sehingga memaksa Nabi dan sahabat pindah ke Madinah.[7]

     Menurut catatan siti Musdah Mulia, masyarakat Arab jahiliyyah mengenal aneka bentuk perkawinan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, istri Nabi, bahwa pada masa Jahililyyah dikenal empat macam perkawinan, yaitu:[8]

  1. Perkawinan Istibdha’, adalah perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan setelah menikah suami memerintahkan istrinya berhubungan badan dengan laki-laki yang dipandang terhormat karena kebangsawanannya dengan maksud mendapatkan anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki bangsawan. Kemudian, setelah hamil suami mengambil istrinya kembali dan bergaul dengannya sebagaimana layaknya suami-istri.
  2. Perkawinan al-Maqthu’, yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan ibu tirinya. Sudah menjadi tradisi Arab sebelum Islam bahwa anak laki-laki mewarisi secara paksa istri-istri mendiang ayahnya, dan jika anak laki-laki yang mewarisi itu masih kecil, keluarganya dapat menahan istri itu sampai anak tersebut dewasa.
  3. Perkawinan  Al-Rahthun, perkawinan Poliandri, yaitu perkawinan seorang perempuan dengan beberapa laki-laki. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu mengundang semua laki-laki yang pernah menggaulinya lalu menentukan siapa ayah dari bayinya dan laki-laki yang ditunjuknya harus menerima dan mengakui bayi itu sebagai anaknya.
  4. Perkawinan Khadan, perkawinan antara laki-laki dan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Saat itu, masyarakat Arab menganggap hal yang demikian bukan kejahatan selama dilakukan secara rahasia.

     Selain keempat bentuk perkawinan diatas, Musdah juga mencatat adanyan dua bentuk perkawinan lainnya, yaitu:[9]

a)      Perkawinan badal, yaitu perkawinan yang didalamnya dua orang suami saling bersepakat tukar menukar istri tanpa melaui talak.

b)      Perkawinan Shighar, yaitu perkawinan seorang laki-laki  dengan anak perempuannya atau saudara perempuan dengan laki-laki lain tanpa menerima mahar tetapi imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuannya ( tukar-menukar anak  atau saudara perempuan)

Penulisan praktik pernikahan pra-Islam ini dikarenakan poligami nabi mengambil latar belakang masyarakat arab Jahiliyah. Masyarakat arab Jahiliyyah memliki sejumlah kebudayaan dominan, misalnya budaya pathriarki, dan kedua, budaya konfederasi suku-suku.

Semua bentuk praktik pernikahan pra-Islam tersebut sangat terkait dengan situasi antropologis historis masyarakat saat itu.[10] Artinya, hal tersebut ada dan terjadi di tengah nilai-nilai yang berlaku saat itu.

Di dalam masa poligami itu, maskulinisme sangat mendominasi. Maskulinisme yang dominan tersebut membawa implikasi serius bagi perempuan. Perempuan menjadi sangat rentan terhadap tindak kekerasan.

Dengan munculnya poligami Nabi Muhammad, poligami yang telah berlaku sebelum masa beliau menghadapi d\ecentering (penghilangan pemusatan) dari poligami Nabi Muhammad.[11] Proses d\ecentering tersebut terlihat pada beberapa hal, pertama, pembatasan jumlah, kedua, perintah berlaku adil dan ketiga, memiliki dimensi ilahi.

Untuk menjelaskan perbedaan antara kedua bentuk Poligami pra-Islam dengan poligami Nabi Muhammad, berikut penulis membuat suatu bagan sebagai berikut:[12]

Poligami Pra Islam

Poligami Nabi Muhammad

  1. Tidak ada pembatasan jumlah
  2. Prestise sosial
  3. Kegiatan cultural
  4. Kelebihan material yang dimiliki pria
  5. Pembatasan Jumlah
  6. Nilai keadilan sebagai syarat
  7. Mempunyai dimensi Ilahi

Selain sebagai decentering atas maskulinisme di dalam poligami pra-Islam, terlihat jelas bahwa poligami Nabi Muhammad merupakan suatu gugatan atas budaya kawin-kawin yang berlaku di tengah masyarakat saat itu. Gugatan dilakukan tidak sekedar lewat tindakan nyata tetapi juga dengan memberikan suatu norma baru.[13]

Praktek poligami Nabi Muhammad sering dijadikan titik tolak pembahasan aktifitas poligami di komunitas Islam. Misalnya, Al-Ghazali menyatakan bahwa al-Quran menginginkan suatu solusi gradual atas praktek poligami yang berlaku saat itu. Ashgrar Ali Engginer menyatakan di dalam Islam prinsip monogamy bersandarkan kepada “ wahyu Poligami” yang terdapat pada al-Quran. Kedua tokoh itu melihat bahwa Islam berusaha menghilangkan praktek poligami menjadi monogamy secara bertahap.

Terkait dengan hal itu, ada beberapa fakta historis yang terdapat di dalam rumah tangga Nabi Muhammad sebagaimana yang dipaparkan oleh Musda Mulia, yaitu:[14]

  1. Perkawinan Nabi Muhammad yang monogamy dan penuh kebahagiaan berlangsung selama 28 tahun; 17 tahun dijalani di masa sebelum kerasulan dan sebelas tahun sesudah masa kerasulan.
  2. Setelah Khadijah wafat, baru dua tahun kemudian Nabi menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah.
  3. Nabi menikah dengan Saudah di kala usia Saudah sudah agak lanjut, bahkan sebagian riwayat menyatakan ia sudah menapouse.
  4. Usia Nabi pada saat melakukan poligami usianya di atas 54 tahun.
  5. Perkawinan Nabi yang ketiga sampai yang terakhir berlangsung di Madinah dan berada dalam rentang waktu yang relative pendek (antara tahun kedua sampai ketujuh hijriyah), hanya 5 tahun.

Jelaslah kiranya bahwa faktor poligami bukan semata-mata untuk memuaskan hasrat. Akan tetapi lebih kepada dakwah Islam. Penulis berpandangan bahwa poligami boleh saja dilakukan bila memenuhi kriteria layaknya Nabi, yaitu menikahi anak perempuan dibawah umur ( kurang dari 9 tahun ) menurut undang-undang pernikahan Indonesia yang jelas tidak diperbolehkan dan wanita yang sudah menapouse atau lanjut usia.

Meskipun Nabi melakukan poligami, tetapi beliau tidak mengizinkan menantunya berpoligami. Hal ini terkait dengan sikap adil yang harus dilakukan dalam berpoligami, yang tidak semua orang bisa melakukannya, termasuk Ali bin Abi Thalib, padahal ia telah teruji keimanannya dan keshalihannya. Namun sebagai manusia biasa ia tidak sanggup keadilan sebagaimana yang dilakukan Nabi dan perihal Firman Allah dalam Surat An-Nisa;129 yang menitikberatkan pada keadilan yang sebenar-benarnya.

 Hal lain yang perlu dilihat di dalam poligami Nabi Muhammad adalah  jumlah istri. Banyak penulis kontemporer yang berusaha membidik masalah ini. Untuk mempermudah melihat nama-nama istri Nabi Muhammad dan waktu pernikahan:[15]

No

Nama

Keluarga

(Patriarkhi)

Tempat

Tahun

Keterangan

1.

Khadijah

Khuwailid

Mekkah

Dinikahi berstatus janda; seorang saudagar

2.

Saudah

Zum’ah

Mekkah

Dinikahi berstatus janda pada bulan Ramadhan di tahun kesepuluh kenabian

3.

‘Aisyah

Abu bakar

Madinah

4.

Hafshah

Umar bin Khatab

Madinah

3 H (2 bln pra perang uhud

5.

Ummu Salamah

Putri Abu Umayyah bin Mughirah

Madinah

Akhir bulan Syawal 4 H

Juwairiyah

Harits bin Abi Dirar dari bani Mustaliq

Madinah

Akhir bulan Syawal 4 H

Zainab

Zaid bin Haritsah (suami)

Madinah

Bulan dzulqa’da 5 H

Dinikahi berstatus janda

Zainab binti Khuzaimah

Tufail bin Harits bin Muthalib

Madinah

Dinikahi berstatus janda

Rayhanah

Hakam dari Bani Nadir (suami)

Madinah

5 H

Dinikahi berstatus janda (suami wafat); tawanan perang ;wafat sewaktu Nabi masih hidup

Ummu Habibah

Putri Abu Sufyan bin Harb

Madinah

Wafat sebagai Kristen setelah sebelumnya muslim sewaktu menikah

Safiyah

Huyay bin Khatab

Madinah

7 H

Dinikahi berstatus janda ( cerai)

Maimunah binti Harits Hilaliyah

Abu Ruhm bin Abdul Uzza Amiri

Madinah

7 H

Dinikahi berstatus janda (mati)

Fathimah binti Dakhlah bin Kilabiyah

Madinah

Bulan dzulqa’dah 8 H

Dinikahi berstatus janda (cerai)

Asma’ binti Nu’man

Madinah

Rabi al-Awal 9 H

  1. B.       Hikmah Poligami Rasu>Lullah
  2. Semakin banyak orang yang tahu akan kondisi batin Rasu>lullah sehingga tuduhan orang-orang mushrik yang menyebut Nabi itu tukang sihir lenyap.
  3. Memulyakan kabilah-kabilah Arab dengan menjadikannya sebagai saudara karena hubungan perkawinan.
  4. Agar kabilah-kabilah Arab semakin cinta dan senang dengan dakwah Nabi.
  5. Dengan semakin banyak istri maka semakin banyak pula yang memberi dukungan memerangi musuh-musuhnya.
  6. Memberikan pelajaran bagi segenap laki-laki sebuah landasan hukum syariat bahwa tujuan poligami adalah karena alasan sosial, bukan karena alasan syahwat.
  7. Meletakkan bangunan persepsi bahwa poligami sebagai wahana mendekatkan diri kepada Allah dan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap problematika kemasyarakatan yang berkaitan dengan kemiskinan dan perlindungan.[16]
  8. Memberikan pengetahuan bahwa Islam sangat memperhatikan aspek bangunan terkecil dari miniatur sosial masyarakat yaitu keluarga sebagai partikel kecil sosial yang harus dijaga kelestariannya karena ia adalah prototipe masyarakat dalam arti yang luas.[17]

 


[1] Irena Handono dkk, Islam dihujat; Menjawab buku The Islamic Invansion, (Kudus; Bima Rodheta, 2004), 303.

[2] Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan dalam Poligami,terj.Ahmad Sahal Mahfudz, ( Jakarta: Global Cipta Publishing, 2003) 25.

[3] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, (Jakarta: PT SUN, 2004), 43.

[4] Irena. Islam dihujat–14

[6] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..45.

[7]Muhammad Jamaluddin, Huqu<q Zaujayni wa Ada<b al-Liqa<’ Bainahuma > (Kairo: Maktabah al-Nu<r al-Muhammadi<, tt), 7

[8] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..50

[9] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat ..55

[10] Haliem A.E, Roman Pernikahan Para Nabi (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), 57.

[11] Ibid, 61.

[12] Ahmad bin ‘Abd al-‘Azi<z, Ummaha<tul Mukmini<n Zauja<t Rasu<lullah  (Kairo: Maktabah al-ima<n, 2005), 20.

[13] Muhammad Jamaluddin, Huqu<q Zaujayni wa Ada<b al-Liqa<’ Bainahuma >. 10.

[14] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami.60

[15] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami..65

[16]  Ali Ahmad Shahat, al-Usrah Fĩ al-Isla>m, (Kairo: Haiah Mishriyyah Li al-Kita>b, 2007), 80.

[17] Badrawî Zahrãn, al-Usrah Wa al-Mujtama’ Fĩ al-Isla>m, (Kairo: Maktabah Nahdhah al-‘Arabiyyah, 2001), 3.

ABSTRAKSI

 

Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan. Ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyeledikan yang berkesinambungan.

Di dalam doktrin agama, terdapat beberapa landasan yang menunjukan, bahwa—di samping—ada kebenaran yang muthlak yang langsung dari Allah swt. diakui pula eksistensi kebenaran relatif yang merupakan hasil usaha pencapaian budaya manusia[1], seperti: kebenaran spekulatif filsafat dan kebenaran positif ilmu pengetahuan serta kebenaran pengetahuan biasa di dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Kata kunci: Ilmu Pengetahuan, Agama 

 

 

 

 

 

 

AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

Ilmu Pengetahuan dan Agama adalah dua entitas yang menduduki posisi penting dalam filsafat ilmu. Keduanya merupakan objek yang menarik untuk diperbincangkan. Posisi kedua cabang disiplin ilmu tersebut saling memberikan nilai positif dalam menjawab persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Hal itu disebabkan oleh fitrah manusia sebagai mahluk berfikir yang selalu menghendaki rasionalitas. Manusia juga mengalami dan menyaksikan problema-problema yang terkait dengan dimensi-dimensi misteri dalam kehidupan yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan merujuk pada agama, sehingga eksistensi agama—yang selain—sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya melalui metodologi ilmu pengetahuan yang telah disepakati kebenarannya.

Karya ilmiah ini, fokus kajiannya tentang ilmu pengetahuan, agama serta hubungan ilmu pengetahuan dan agama. Dalam penulisan karya ilmiah, penulis sadar bahwa karya ilmiah ini jauh dari kesempurnaan sehingga membutuhkan saran yang membangun demi terciptanya kebenaran yang seutuhnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. A.    Ilmu Pengetahuan

 

Ilmu pengetahuan adalah suatu sistem pengetahuan dari berbagai pengetahuan, mengenai suatu lapangan pengalaman tertentu, yang disusun sedemikian rupa menurut asas-asas tertentu, hingga menjadi kesatuan atau sistem dari berbagai pengetahuan. James menjelaskan, ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan.[2] Ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyeledikan yang berkesinambungan.

Ilmu pengetahuan juga bisa merupakan upaya menyingkap realitas secara tepat dengan merumuskan objek material dan objek formal.Upaya penyingkapan realitas dengan memakai dua perumusan tersebut adakalanya menggunakan rasio dan empiris atau mensintesikan keduanya sebagai ukuran sebuah kebenaran (kebenaran ilmiah). Penyingkapan ilmu pengetahuan ini telah banyak mengungkap rahasia alam semesta dan mengeksploitasinya untuk kepentingan manusia.

Dewasa ini, ilmu pengetahuan yang bercorak empiristik dengan metode kuantitatif (matematis) lebih dominan menduduki dialektika kehidupan masyarakat. Hal ini besar kemungkinan karena banyak dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran positivistiknya Auguste Comte yang mengajukan tiga tahapan pembebasan ilmu pengetahuan.[3] Pertama, menurut Auguste Comte ilmu pengetahuan harus terlepas dari lingkungan teologik yang bersifat mistis. Kedua, ilmu pengetahuan harus bebas dari lingkungan metafisik yang bersifat abstrak. Ketiga, ilmu pengetahuan harus menemukan otonominya sendiri dalam lingkungan positifistik.

  1. a.     Bentuk Ilmu Pengetahuan

Menurut beberapa pakar, ilmu pengetahuan didefinisikan sebagai rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkahnya.[4] Dengan pola tersebut maka akan dihasilkan sebuah pengetahuan yang sistematis mengenai fenomena tertentu, dan mencapai kebenaran, pemahaman serta bisa memberikan penjelasan serta melakukan penerapan.

Secara garis besar, ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bentuk, yakni ilmu eksakta dan ilmu humaniora. Ilmu eksakta adalah spesifikasi keilmuan yang menitikberatkan pada hukum sebab akibat. Penilaian terhadap ilmu-ilmu eksakta cenderung memakai metode observasi yang digunakan sebagai cara penelitiannya dan mengukur tingkat validitasnya. Dengan model tersebut, penelitian terhadap ilmu-ilmu eksakta sering mendapatkan hasil yang objektif. Sedangkan ilmu humaniora merupakan spesifikasi keilmuan yang membahas sisi kemanusian selain yang bersangkutan dengan biologis maupun fisiologisnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kemanusiaan ini lebih tertitik tekan dalam masalah sosiologis dan psikologisnya.

Menurut Jujun, cabang atau bentuk ilmu pada dasarnya berkembang dari cabang utama, yakni filsafat alam yang kemudian berafiliasi di dalamnya ilmu-ilmu alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang kemudian berkembang menjadi menjadi cabang ilmu-ilmu social (the social sciences).[5] Dari kedua cabang tersebut, klasifikasi keilmuan menjadi kian tak terbatas. Diperkirakan sampai sekarang ini, terdapat sekitar 650 cabang keilmuan yang masih belum banyak dikenal.[6] Kepesatan kemajuan perkembangan ilmu ini demikian cepat, hingga tidak menutup kemungkinan sepuluh tahun ke depan, klasifikasi keilmuan bisa mencapai ribuan jumlahnya.

Sekian banyak jumlah cabang keilmuan tersebut, bermula dari ilmu alam yang membagi diri menjadi dua kelompok, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hidup (hayat/the biological sciences).[7] Ilmu alam ini bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta. Ilmu ini kemudian membentuk rumpun keilmuan yang lebih spesifik, misalnya sebagai ilmu fisika yang mempelajari tentang massa dan energi, ilmu kimia yang membahas tentang substansi zat, ilmu astronomi yang berusaha memahami kondisi benda-benda langit dan ilmu-ilmu lainnya. Dari rumpun keilmuan ini kemudian membentuk ranting-ranting baru, seperti kalau dalam fisika ada yang namanya mekanik, hidrodinamika, bunyi dan seterusnya yang masih banyak lagi ranting-ranting kecil.

Disiplin keilmuan tersebut di atas terlahir dari beberapa sumber. Ilmu pengetahuan yang terlahir dari sumber yang berdampak pada perbedaan dari masing-masing jenis keilmuan. Meskipun demikian tidak semua orang mempercayai dan mengakui keilmuan seseorang yang kebetulan muncul dari sumber yang tidak diyakini oleh kebanyakan masyarakat. Misalnya ilmu ladunniy yang diyakini adanya di kawasan Timur namun tidak dipercaya di daerah Barat.

Dalam buku Filsafat Ilmu karya Amsal Bakhtiar dikatakan bahwa ada beberapa pendapat yang menyatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan keluar dari empat hal.[8] Pertama adalah Empirisme, menurut aliran ini seseorang bisa memperoleh pengetahuan dengan pengalaman inderawinya. Dengan indera manusia bisa menghubungkan hal-hal yang bersifat fisik ke medan intensional, atau menghubungkan manusia dengan sesuatu yang kongkret-material. Kedua adalah Rasionalisme, aliran ini menyatakan bahwa akal merupakan satu-satunya sumber kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang diakui benar semata-mata hanya diukur dengan rasio.

Ketiga adalah intuisi. Menurut Henry Bergson yang dikutip oleh Bakhtiar, intuisi adalah hasil evolusi dari pemahaman yang tertinggi. Intuisi ini bisa dikatakan hampir sama dengan insting, namun berbeda dalam tingkat kesadaran dan kebebasannya. Untuk menumbuhkan kemampuan ini, diperlukan usaha dan kontinuitas latihan-latihan. Ia juga menambahkan bahwa intuisi mengatasi sifat lahiriah pengetahuan simbolis yang meliputi harus adanya analisis, menyeluruh, mutlak dan lain sebagainya. Karena itu, intuisi adalah sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Keempat adalah wahyu, sumber ini hanya khusus diperoleh melalui para Nabi yang menerima pengetahuan langsung dari Tuhan semesta alam. Para Nabi memperoleh pengetahuan tanpa upaya dan tanpa memerlukan waktu tertentu. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan.

Jika sumber pengetahuan tersebut dihubungkan dengan struktur realitas (objek) dan struktur keilmuan, maka pengklasifikasiaanya sebagaimana dalam tabel berikut:[9]

Tabel 2.1. Sumber Ilmu pengetahuan

Sumber Ilmu

Struktur Realitas (objek)

Struktur Keilmuan

Intuisi, rasio, indera, wahyu

Transenden

Ilmu Agama (kitab suci)

Rasio, indera, intuisi

Manusia

Ilmu filsafat

Rasio, indera, intuisi

Masyarakat

Ilmu sosial, budaya, ekonomi, politik dsb

Rasio, indera, intuisi

Sebab-akibat, proses

Ilmu fisika, kimia dsb

Intuisi

Pertahanan hidup

Ilmu kelangsungan hidup

Indera

Fisiko-kemis

Pengetahuan sederhana

 

Jika melihat klasifikasi yang terdapat dalam tabel di atas, maka untuk sementara bisa diambil kesimpulan sementara bahwa kebenaran bisa bersifat multidimensional. Artinya ada beberapa bidang keilmuan bisa lahir dari semua sumber pengetahuan.

  1. B.    Pengertian Agama

Kata agama dalam bahasa inggris disebut “Religion”, dalam bahasa belanda disebut “Religie”. Kedua kata tersebut terambil dari bahasa induk yaitu bahasa latin yang memiliki arti “Religare”[10], to treat carefully (Ciicero), Relegere, to bind together (Lactantius), atau Religare, to recover (Agustinus).[11]

Dalam bahasa Arab, kata Agama disebut dengan “al-Di>n” yang terambil dari akar kata “Da>na-Yadi>nu” yang berarti : (1). Cara atau adat kebiasaan; (2). Peraturan; (3). Undang-undang; (4). Ta’at atau patuh; (5). Menunggalkan Tuhan; (6).Pembalasan; (7). Perhitungan; (8). Hari kiamat; dan (9). Nasihat.

Menurut Fachruddin alkahiri, kata agama dalam bahasa indonesia berasal dari bahasa sangsekerta yang terdiri dari dua kata, yaitu: “a” yang berarti “Tidak” dan “Gama” yang berarti “berantakan”. Jadi kata “Agama” adalah tidak berantakan, atau dalam pengertian lain berarti teratur. Yang dimaksud agama adalah suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun sesuatu yang gaib, ataupun mengenai budi-pekerti, pergaulan hidup bersama dan lainnya.[12] 

Aljurjani menerangkan persamaan dan perbedaan antara al-Di>n, pada satu pihak,dengan al-Millah dan al-Madhhab pada pihak lain. Menurut beliau al-Di>n, Millah ataupun al-Madhhab bersamaan dalam materinya. Perbedaan terletak dalam kesannya: al-Di>n dinisbatkan kepada Allah, seperti Di>n Alla>h, al-Millah dinisbatkan kepada nabi tertentu, seperti Millat ibra>hi>m, dan al-Madhhab dinisbatkan kepada mujtahid tertentu, seperti madhhab Syafi’i>.[13] Adapun dalam pandangan Ibnu Rushd, istilah al-Di>n dan al-Millah terkandung substansi yang sama, yakni syari’at atau agama yang diturunkan Tuhan kepada Rasul-Nya.[14]

Menurut Husain Ismail, agama adalah jalan atau metode yang bersumber dari Sang Pencipta untuk mengetahui sifat, perbuatan dan tujuan diri-Nya menciptakan makhluk secara umum dimana manusia termasuk di dalamnya.[15]

Di dalam al-Qur’an kata al-Di>n digunakan, baik untuk islam maupun non islam, termasuk juga kepercayaan terhadap berhala-berhala dan sesembahan lainnya.[16]

  1. a.     Pembagian Agama

Pembagian Agama menurut ahmad Abdullah al-masdoosi dapat dikelompokkan menjadi Tiga:[17]

  1. Revealed and non-Revealed Religions. Revealed Religion (Agama wahyu) adalah agama yang menghendaki iman kepada Tuhan, kepada para rasul-Nya, dan kepada Kitab-kitab-Nya serta pesannya untuk disebarkan kepada segenap ummat manusia. Sedangkan non-revealed religion adalah agama yang tidak memandang esensial penyerahan manusia kepada kepada tata aturan ilahi. Menurut al-masdoosi, yang termasuk revealed religion adalah Yudaisme, Kristen, dan Islam.
  2. Agama Missionary dan Agama non-missionary, Sir TW. Arnold memasukkan budhisme, Kristen, dan Islam pada golongan agama missionary, sedangkan Yudaisme, Brahmanisme, dan Zoroasterianissme dimasukkan pada golongan non-missionary. Adapun menurut al-masdoosi, baik agama Nasrani maupun Budhisme, ditinjau dari segi ajarannya yang asli, bukanlah tergolong agama missionary, sebagaimana juga agama lainnya (selain Islam). Menurutnya hanya Islam-lah ajaran yang asli merupakan agama missionary. Namun dalam perkembanganya ternyata bahwa baik agama Nasrani maupun Budhisme menjadai agama missionary.
  3. Geoghraphical-racial and universal, Ditinjau dari segi rasial dan geografikal, agama-agama di dunia dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1). Semitik; ialah agama Yahudi, agama Nasrani dan agama Islam; (2). Arya; ialah Hinduisme, Jainisme, Sikhisme, dan Zoroasterianisme; (3). Non semitik Monggolian; ialah Confusianisme, Taoisme, dan Sinthoisme.
  4. Agama Samawi dan Agama Non-Samawi, Agama merupakan satu sistem credo (tata keimanan) dan sistem ritus (tata peribadatan), juga suatu sistem norma (tata kaidah) yang mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan dengan tata keimanan dan tata peribatan.

Ditinjau dari segi sumbernya, maka agama dapat dibedakan menjadi dua:

  1. Agama samawi, seperti agama langit, agama wahyu, agama profetis, revealed religion, Di>n al-Samawy
  2. Agama Budaya; adalah agama bumi, agama filsafat, agama ra’yu, non-revealed religion, natural religion, Di>n al-T}abi’i>, Di>n al-Ard}.
  3. b.     Tujuan, Guna, dan Fungsi Agama

Pada dasarnya, manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan yang dapat melahirkan nilai-nilai guna menopang kehidupannya. Selain kepercayaan itu dianut karena kebutuhan, dalam waktu bersamaan juga harus merupakan suatu kebenaran. Demikian juga cara berkepercayaan-pun harus benar. Disebabkan kepercayaan itu diperlukan, maka dalam dunia nyata ditemukan bentuk-bentuk kepercayaan yang berbeda. Hal itu dapat menimbulkan  kepercayaan yang mungkin semua salah atau salah satu diantaranya benar.[18] Adapun salah satu kepercayaan yang dapat diakui kebenaraannya adalah kepercayaan terhadap agama.

Agama sebagai sistem kepercayaan (iman), memiliki dua pengertian: (1). Kepercayaan  (iman) sebagai institusi, yaitu iman yang merupakan bagian (paling pokok) dari agama sendiri, yang berposisi sebagai bentuk kepercayaan yang tertinggi yang diakui kebenarannya. Seperti rukun iman dalam islam; (2). Kepercayaan (iman) sebagai sikap jiwa, sikap jiwa mempercayai dan menerima sesuatu sebagai benar, yaitu sikap jiwa sami’na> wa at}a’na>  (kami mendengar dan mematuhi), serta mematuhi firma ilahi dengan sepenuh kedirian, memusatkan segala pengabdian hanya kepada-Nya, menyerahkan diri, hidup dan mati semata-mata untuk-Nya.[19]

Eksistensi agama—selain—sebagai sistem kepercayaan yang mengharuskan adanya kebenaran, juga sebagai tindakan praktis terhadap aplikasi kepercayaan (iman) yang telah diakui kebenaraanya. Dalam hal ini Ibnu Sina memiliki dua aspek missi, yaitu missi teoritis dan praktis. Missi teoritis berfungsi mengarahkan jiwa manusia menuju kebahagiaan abadi dengan mengajarkan ajaran dasar keimanan terhadap eksistensi Tuhan, realitas wahyu, dan kenabian serta kehidupan sesudah mati. Adapun missi praktis mengajarkan aspek-aspek praktis agama sebagai tindakan ritual untuk dilaksanakan oleh seseorang yang beriman.[20]

  1. c.     Kebenaran Agama

Peran agama sebagai bentuk kepercayaan mengharuskan adanya keyakinan terhadap prinsip-prinsip dan norma-norma agama yang diakui kebenarannya. Keyakinan tersebut haruslah bersumber dari kebenaran yang hakiki dan tidak ada keraguan.

Di dalam doktrin agama, terdapat beberapa landasan yang menunjukan, bahwa—di samping—ada kebenaran yang muthlak yang langsung dari Allah swt. diakui pula eksistensi kebenaran relatif yang merupakan hasil usaha pencapaian budaya manusia[21], seperti: kebenaran spekulatif filsafat dan kebenaran positif ilmu pengetahuan serta kebenaran pengetahuan biasa di dalam kehidupan sehari-hari.[22]

Menyangkut konsep kebenaran, ada dua hal yang tidak bisa dipisahkan, yaitu: sumber otoritas atau justifikasi dan metode untuk memperolehnya. Kebenaran agama sumber otoritasanya adalah wahyu dari Tuhan. Oleh karenanya, konsep kebenaran dalam pemahaman agama selalu dirujukan kepada apa yang dikatakan wahyu. Adapun justifikasi sebuah kebenaran ilmiah terletak pada prosedur dan hasil pengujian, bukan pada keyakinan metafisis seperti kebenaran wahyu.[23] Sejalan dengan pendapat ini, Muhammad al-Husaini ismail mengatakan, bahwa Permasalahan-permasalahan yang menyangkut agama telah menjadi “permasalahan muthlak”, bukan “permasalahan relatif”.[24]

 

  1. C.    Hubungan Ilmu Pengetahuan Dengan Agama

 

Menurut Muhammad Abduh, agama merupakan sebuah produk Tuhan. Tuhan juga mengajarkannya kepada umat manusia, dan membimbing manusia untuk menjalankanya. Agama merupakan alat untuk akal dan logika, bagi orang-orang yang ingin kabar gembira dan sedih. agama menurut sebagian orang merupakan sesuatu hal yang menyangkut hati; suatu hal yang sangat berarti; suatu hal  yang menuntun jiwa untuk menemukan keyakinan. Agama dengan eksistensinya telah membuatnya berbeda dengan segala apa yang pernah ada, membuatnya berbeda dengan dengan segala yang pernah dimiliki manusia. Agama membuat orang melakukan aktifitas yang harus bersesuaian dengan apa yang diajarkannya, baik tuntunan itu berat ataupun ringan. Agama menjadikan kehidupan manusia lebih teratur dalam kehidupannya, karena segala dorongan dan keinginannya menjadi lebih terarah. Agama menjadi pemimpin roh jiwa manusia. Ia juga berperan aktif membimbing manusia untuk memahami ajaran-ajaranya. Diibaratkan seorang manusia layaknya seorang yang berada diujung pedang, jika salah maka orang tersebut mati olehnya, tetapi agama agama datang sebagai penyelamat. Apapun yang terjadi pada manusia, ia tidak akan bisa terlepas dari agama. Sangat mustahil memisahkan kehidupan manusia dari agama. Seperti halnya menghilangkan luka bekas operasi dari kulit manusia.[25]       

Bagi kalangan barat, agama adalah penghalang kemajuan. Oleh karena itu, mereka beranggapan, jika ingin maju maka agama tidak boleh lagi mengatur hal-hal yang berhubungan dengan dunia. Seorang Karl marx mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, candu merupakan zat yang dapat menimbulkan halusianasi yang membius. Marks mendefinisikan bahwa setiap pemikiran tentang agama dan tuhan sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. sebagai seorang materialisme, Marks sama sekali tidak percaya adanya Tuhan dan secara tegas ia ingin memerangi semua agama. Dalam pernyataan Marks, sebenarnya yang dimaksud dengan candu masyarakat merupakan kritik terhadap realitas yang tidak berpihak pada kaum lemah. Misalnya orang yang sedang kelaparan hanya membutuhkan nasi atau sepotong roti untuk mengisi perutnya, bukan membutuhkan siraman rohani ataupun khutbah yang berisikan tentang kesabaran, namun tidak memperdulikan tentang realitas sosial

Dalam pandangan saintis, agama dan ilmu pengetahuan mempunyai perbedaan. Bidang kajian agama adalah metafisik, sedangkan bidang kajian sains / ilmu pengetahuan adalah alam empiris. Sumber agama dari tuhan, sedangkan ilmu pengetahuan dari alam.

Dari segi tujuan, agama berfungsi sebagai pembimbing umat manusia agar hidup tenang dan bahagia didunia dan di akhirat. Adapun sains / ilmu pengetahuan berfungsi sebagai sarana mempermudah aktifitas manusia di dunia. Kebahagiaan di dunia, menurut agama adalah persyaratan untuk mencapai kebahagaian di akhirat.

Menurut Amstal, bahwa agama cenderung mengedepankan moralitas dan menjaga tradisi yang sudah mapan, eksklusif dan subjektif. Sementara ilmu pengetahuan selalu mencari yang baru, tidak terikat dengan etika, progesif, bersifat inklusif, dan objektif. Meskipun keduanya memiliki perbedaan, juga memiliki kesamaan, yaitu bertujuan memberi ketenangan. Agama memberikan ketenangan dari segi batin karena ada janji kehidupan setelah mati, Sedangkan ilmu memberi ketenangan dan sekaligus kemudahan bagi kehidupan di dunia.[26] Misalnya, Tsunami dalam Konteks agama adalah cobaan Tuhan dan sekaligus rancangan-Nya tentang alam secara keseluruhan. Oleh karena itu, manusia harus bersabar atas cobaan tersebut dan mencari hikmah yang terkandung dibalik Tsunami. Adapun menurut ilmu pengetahuan, Tsunami terjadi akibat pergeseran lempengan bumi, oleh karena itu para ilmuwan harus mencari ilmu pengetahuan untuk mendeteksi kapan tsunami akan terjadi dan bahkan kalau perlu mencari cara mengatasinya.

Karekteristik agama dan ilmu pengetahuan tidak selau harus dilihat dalam Konteks yang berseberangan, tetapi juga perlu dipikirkan bagaimana keduanya bersinergi dalam membantu kehidupan manusia yang lebih layak. Osman Bakar mengatakan bahwa epistemology, metafisika, teologi dan psikologi memiliki peran penting dalam mengembangkan intelektual untuk merumuskan berbagai hubungan konseptual agama dan ilmu pengetahuan.[27]Peran utamanya adalah memberikan rumusan-rumusan konseptual kepada para ilmuan secara rasional yang bisa dibenarkan dengan ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan untuk digunakan sebagai premis-premis dari berbagai jenis sains. Misalnya kosmologi, dengan adanya kosmologi dapat membantu meringankan dan mengkonseptualkan dasar-dasar ilmu pengetahuan seperti fisika dan biologi.

Ilmu pengetahuan yang dipahami dalam arti pendek sebagai pengetahuan objektif, tersusun, dan teratur. Ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari agama. Sebut saja al-Quran, al-Quran merupakan sumber intelektualitas dan spiritualitas. Ia merupakan sumber rujukan bagi agama dan segala pengembangan ilmu pengetahuan. Ia merupakan sumber utama inspirasi pandangan orang islam tentang keterpaduan ilmu pengetahuan dan agama. Manusia memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber dan melalui banyak cara dan jalan, tetapi semua pengetahuan pada akhirnya berasal dari Tuhan. Dalam pandangan al-Quran, pengetahuan tentang benda-benda menjadi mungkin karena Tuhan memberikan fasilitas yang dibutuhkan untuk mengetahui. Para ahli filsafat dan ilmuan muslim berkeyakinan bahwa dalam tindakan berpikir dan mengetahui, akal manusia mendapatkan pencerahan dari Tuhan Yang Maha mengetahui sesuatu yang belum diketahui dan akan diketahui dengan lantaran model dan metode bagaimana memperolehnya.[28]

Al-Quran bukanlah kitab ilmu pengetahuan, tetapi ia memberikan pengetahuan tentang prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang selalu dihubungkan dengan pengetahuan metafisik dan spiritual. Panggilan al-Quran untuk “membaca dengan Nama Tuhanmu” telah dipahami dengan pengertian bahwa pencarian pengetahuan, termasuk didalamnya pengetahuan ilmiah yang didasarkan pada pengetahuan tentang realitas Tuhan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Sina yang menyatakan, Ilmu pengetahuan disebut ilmu pengetahuan yang sejati jika menghubungkan pengetahuan tentang dunia dengan pengetahuan Prinsip Tuhan.[29]

Agama dan ilmu pengetahuan memang berbeda metode yang digunakan, karena masing-masing berbeda fungsinya. Dalam ilmu pengetahuan kita berusaha menemukan makna pengalaman secara lahiriyah, sedangkan dalam agama lebih menekankan pengalaman yang bersifat ruhaniah sehingga menumbuhkan kesadaran dan pengertian keagamaan yang mendalam. Dalam beberapa hal, ini mungkin dapat dideskripsikan oleh ilmu pengetahuan kita, tetapi tidak dapat diukur dan dinyatakan dengan rumus-rumus ilmu pasti.[30]

Sekalipun demikian, ada satu hal yang sudah jelas, bahwa kehidupan jasmani dan rohani tetap dikuasai oleh satu tata aturan hukum yang universal. Ini berarti, baik agama maupun ilmu pengetahuan, yaitu Allah. Keduanya saling melengkapi dan membantu manusia dalam bidangnya masing-masing dengan caranya sendiri.[31]

Fungsi agama dan ilmu pengetahuan dapat dikiaskan seperti hubungan mata dan mikroskop. Mikroskop telah membantu indera mata kita yang terbatas, sehingga dapat melihat bakteri-bakteri yang terlalu kecil untuk dilihat oleh mata telanjang. Demikian pula benda langit yang sangat kecil dilihat dengan mata telanjang, ini bisa dibantu dengan teleskop karena terlalu jauh. Demikian halnya dengan wahyu Ilahi, telah membantu akal untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang diamati oleh indera.[32] Jika ini hanya dilakukan oleh akal maka akan menyesatkan manusia.    

Berikut beberapa perbandingan sementara mengenai sumber dari ilmu pengetahuan dan agama:[33]

Tabel 2.2. Perbandingan Sementara Mengenai Sumber Dari Ilmu Pengetahuan Dan Agama

Sumber Ilmu Pengetahuan

Sumber Agama

  1. Didapat melalui proses bernalar ( rasionalism) tanpa melalui proses pengalaman ( empirisme)
  2. Didapat melalui rasio dan diproses dengan metode induktif
  3.  Didapat melalui pengalaman dan diproses dengan metode induktif
  4. Bersifat dogmatik
  5. Mengandung nilai-nilai yang berkaitan dengan keyakinan
  6. Kebenaran dalam agama tidak selalu diterima dengan nalar / logika
  7. Sumber agama melalui intuisi dan wahyu
 

 

BAB III

KESIMPULAN

Dari beberapa paparan tersebut, untuk sementara bisa diambil konklusi sebagai berikut:

  1. Ilmu pengetahuan adalah rangkaian aktifitas berfikir dan memahami dengan mengikuti prosedur sistematika metode dan memenuhi langkah-langkah klasifikasi.
  2. Agama adalah produk Tuhan yang bersifat dogmatik dan tidak selalu bisa diterima dengan system ilmu pengetahuan.
  3. Agama dan Ilmu Pengetahuan mempunyai peran masing-masing yang sangat mendukung satu sama lain untuk memberikan kehidupan yang berkualitas.

 

 

BIBLIOGRAFI

Abduh, Muhammad, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Msyarakat Madani,terj olehHaris Fadillah. Jakarta: Raja Grafindo, 2004.

 

Anshari, Endang Saifuddin, Ilmu, Filsafat dan Agama,.Surabaya: Bina Imu, Cet.7, 1987.

 

Bakar,  Osman, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and Science, . Malaysia: sdn BHR, 2008.

 

Bakhtiar, Amsal, Filsasat Ilmu,. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004.

 

Gie, The Liang, Pengantar Filsafat Ilmu,. Yogyakarta: Liberty, 2004.

Isma’il, Muhammad al-Husain, Kebenaran Mutlak,. Jakarta: SAHARA, 2006

 

Nasr, Seyyed Hossein, The Heart of Islam,. Bandung: Mizan, 2003.

 

Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya,. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1938.

 

Qur’a>n (al), 42 (al-Shu>ra>):13, 21; 48 (al-Fath):28; 109 (al-Ka>firu>n): 6.

 

Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama,. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007.

 

Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer ,.Jakarta:PustakaSinar Harapan, 2003.

 

Wijaya, Aksin, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, . Yogyakarta: LkiS, 2009.

 

Wijaya, Utang, Kuliah Ilmu Pemerintahan,. pdf.microsoft power point.

Zubair, Achmad Charris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia,. Yogyakarta: LESFI, 2002.

 

ILMU PENGETAHUAN DAN AGAMA

Makalah

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

Filsafat Ilmu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Disusun Oleh:

Abdul basid

NIM. Fo.054 111 85

 

 

Dosen Pembimbing:

Dr. H. Achmad Muhibin Zuhri, M.Ag.

1972 0711 1966 603 100

 

 

 

 

 

 

KONSENTRASI TAFSIR HADITH

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2011

 

 

 


 

[2] Qadir, Ilmu Pengetahuan dan Metodenya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1938), 37.

[3] The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, 2004), 39.

.

[4]The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu …93.

[5]Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:PustakaSinar Harapan, 2003), 93.

[6]Ibid.96.

[7]Ibid.98

[8]Amsal Bakhtiar, Filsasat Ilmu (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), 98-110.

[9]Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia (Yogyakarta: LESFI, 2002),17. Pemilahan sumber ilmu dan pemasangannya dengan struktur realitas serta keilmuan dalam tabel di atas tidak mutlak seperti itu adanya.

[10]Seyyed Hossein Nasr mengartikan Religare dengan arti “mengikat” sebagai lawan dari “membebaskan”. Dalam agama-agama india, kebebasan diidentifikasi dengan pelepasan dari ikatan semua keterbatasan, atau yang disebut ummat hindu “moksa” , dan dari perputaran roda kesusahan yang berulang-ulang, dari dari mata rantai kelahiran dan kematian di dunia yang berubah, yang ditekankan dalam agama budha. Dalamkebanyakan kitab suci, kebebasan diidentifikasi dengan melepaskan diri dari keterbatasan eksistensi kita sendiri dan bukan kebebasan individu, yaitu “ego”. Seperti yang telah dikatakan oleh banyak orang suci muslim, agama adalah untuk membuat kita mampu meraih kemerdekaan  dari kekuasaan diri dan bukan untuk menimbulkan kebebasan diri. Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam, (Bandung: Mizan, 2003), 355.

[11]Ibid. 119.

[12]Ibid.122.

[13]Ibid, 121

[14]Aksin Wijaya, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusyd, (Yogyakarta: LkiS, 2009), 72.

[15]Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, (Jakarta: SAHARA, 2006), 304

[16]Al-Qur’a>n, 42 (al-Shu>ra>):13, 21; 48 (al-Fath):28; 109 (al-Ka>firu>n): 6. dll.

[17]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: Bina Imu, Cet.7, 1987), 126-129

[18]Ibid.138-139., (2). Dalam beberapa kasus, yang disebabkan oleh kebutuhan manusia terhadap kepercayaan yang  benar, seringkali terdapat segolongan orang yang berganti-ganti kepercayaan, salah satu contoh adalah Auguste Conte (1798-1857, seorang ahli matematika dan filsafat dari perancis dan pelopor filsafat Positivisme) yang mengetahui bahwa pengalamannya dengan agama yang dianutnya (agama kristen) telah mengalami kegagalan sehingga berakibat pada sikap penolakan dirinya terhadap semua agama yang kamudian ia sendiri membuat sebuah agama baru yang bernama “Agama Kemanusiaan”. Baca, Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak. Hal. 24-26

[19]Ibid. 143

[20]Baca, Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, hal. 80-82

[21]Hikmah adalah barang  yang  hilang milik orang yang beriman; dimanapun mereka menemukan hikmah itu, mereka paling berhak memilikinya. (2). Firman Allah: “Berilah kabar gembira hamba-hamba-Ku, yang  mau mendengarkan “al-Qaula” (idea, pendapat), kemudian mengikuti yang paling baik”. QS. Az-Zumar : 17-18.

[22]Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, 147

[23]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), 160.

[24]Muhammad al-Husain Isma’il, Kebenaran Mutlak, 305-306

[25]Muhammad Abduh, Islam; Ilmu Pengetahuan dan Msyarakat Madani,terj olehHaris Fadillah (Jakarta: Raja Grafindo, 2004) hal.4.

[26] Amtsal Bakhtiar,  Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal.230-231.

[27] Osma Bakar, DR, Tawhid and Science; Islamic perspective on Religion and Science,  (Malaysia: sdn BHR, 2008), hal.60.

[28]  Ibid, hal.149.

[29]  Ibid, hal.150.

[30] Soedewo, Ilmu pengetahuan dan Agama, (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 2007),  59.

[31]  Ibid,. 60.

[32]  Ibid,. 61.

[33] Utang Wijaya, Kuliah Ilmu Pemerintahan,(pdf.microsoft power point).

Lamunan malam yang panjang

Kusendiri menatap sebuah awang-awang kehidupan

Panjang panjang sekali

Kulihat rumput-rumput yang menengadakan julurnya

Serompaian katak menyahut bunyinya

Angin yang tak ada

Menambah heningnya malam ini

Bulan separuh hampir redup cahyanya

Bintang-bintang yang tertutup awan katanya

Hening…hening rasanya malam ini

Tak seorangpun hidup

Semua telah tinggal mimpi dihidupnya

Renungku malam ini

Aku ingin engkau mendengarku

Mendengar keluhanku

Mendengar kesahku

Mendengar rintih hatiku

Wahai pencipta mimpi

Aku ingin hidup dimana orang bisa hidup

Aku ingin makan dimana orang bisa makan

Aku ingin mobil dimana orang punya mobil

Aku ingin rumah dimana orang punya rumah

Aku ingin naik haji dimana orang bisa naik haji

Aku ingin membahagiakan ortuku

Aku ingin melihat mereka tersenyum karenaku

Aku ingin apa yang orang inginkan

Aku ingin dekat dengan-Mu tuhan

Aku ingin melihat Rasulullah

Aku ingin bersanding dengan-Nya kelak

Aku ingin merasakan surgamu tuhan

Aku ingin alam ini tunduk dihadapanMu tuhan

Aku  ingin kebahagiaan yang abadi

Aku ingin berteman orang shaleh

Yang selalu dekat denganMu

Bangkalan, By Abdul Basid   (14 Nop 2010) 10.34.11

ImanKu kepadaMu……

HARI KURBAN..
korbankan jiwamu Untuk Allah
korbankan Jiwamu Untuk Rasulullah
Korbankan Jiwamu Untuk Kitabullah
Korbankan Jiwamu Untuk Hari Akhir
Korbankan Jiwamu Untuk Ulama
Korbankan Jiwamu Untuk Ilmu
Korbankan Jiwamu Untuk Negaramu
berkorbanlah …
Karena Hidup adalah
PENGORBANAN
(15.11.10;01.58.09)

Wanita ( 24.11.10;18.24.10)

Terlalu lama ku terlena

Terlena oleh dunia

Wanita, dan tahta

Yang semua tiada ara

Dan tujuan

Owh

Wanita kenapa engkau begitu menggoda

Kenapa engkau buwat semua jadi gila

Kenapa engkau buwat semua terpesona

Kenapa engkau buwat semua terperanga

Kenapa engkau buwat semua mati sia-sia

Kenapa engkau buat semua masuk neraka

Apakah engkau diciptakan untuknya

Kenapa engkau mau dijadikan actor segalanya

Actor bagi laki – laki

Actor bagi pemuka agama

Actor bagi penguasa

Apakah ini sebuah sandiwara belaka

Sandiwara tiada sutradara

Ach…lucu alangkah dunia ini..😀

Datang…

Pergi….

Ada …

Tiada….

Pernahkah anda berpikir

Hidup…

Adalah datang

Dengan segala janjinya

Dengan segala kebolehannya

Dengan segala kedigdayaanya

Lalu …

Dia pergi tanpa

Tanpa setetes air pun ditinggalkan

Tanpa setabur debu pun disemaikan

Tanpa dan tanpa

Lalu …

Dengan alasan apa engkau mengingkari nikmat tuhanmu..??

(25.11.10;04.25.11)

 

 

 

 

 

 

 

 

Lemah aku dihadapanmu

Terlulai air mata ku  bila ku ingat dosaku

Mati pun aku tak sanggup

Betapa banyak dosaku

Betapa banyak kesalahanku

Aku tobat tuhan

Tunjukkan aku pada jalanMu

Lindungilah aku dari syaitan

(6.6.2011; 11.59.59)

Sakit

Entah apa yang kupikirkan sekarang

Kepala ini sakit bangett

Berat rasanya angkat badan

(6.7.2011;14.10.40)

HARI                                                

Hari ini aku menjadi begini

Entah apa yang terjadi pada HARI ESOKKKU..???

Aku yakin pada diriku

Aku yakin pada masa depanku

Aku yakin pada tuhanku

Aku pasti bisa

Aku pasti bisa

Bisa pasti aku

Goooo……..freedom…..

(13.7.2011;18.10.11)

 

 

Bermanfaat .. .. ??

Entah apa yang aku dapat hari

Dalam benakku hidupku harus bermanfaat untuk orang lain

Apapun dan jadi apa itu hanya sebuah lebel kehidupann

Dalam islam orang yang paling bahagia adalah orang dapat

Bermanfaat untuk orang lain

Kehidupan yang hanya sebentar ini akan aku buat se maksimal mungkin untuk mendapatkan hasil yang maksimal

Orang yang berpikir positive akan mendapatkan hasil yang positive …

(19.09.11; 19.05.45)  

 

Welcome to WordPress.com. After you read this, you should delete and write your own post, with a new title above. Or hit Add New on the left (of the admin dashboard) to start a fresh post.

Here are some suggestions for your first post.

  1. You can find new ideas for what to blog about by reading the Daily Post.
  2. Add PressThis to your browser. It creates a new blog post for you about any interesting  page you read on the web.
  3. Make some changes to this page, and then hit preview on the right. You can always preview any post or edit it before you share it to the world.